Selasa, 26 Januari 2016

Rapa’

Di desa kecil ini, pasar merupakan palung perjumpaan yang sangat dirindukan. Sebab dia hanya datang dua kali tiap pekan. Dan dia, perempuan tua dengan sebuah buntalan berisi entah apa, membebani punggungnya tidak pernah luput mengisi keramaian pasar. Orang-orang banyak berpendapat tentang buntalan itu. Kata sebagian, isinya adalah setumpuk pakaian dan barang-barang berharga milik perempuan itu. Sebagian lagi mengatakan bahwa buntalan itu penuh dengan dedaunan dan rerumputan yang sudah mengering. Separuh berpendapat, ada banyak uang merah di buntalan tersebut. Uang merah yang dimaksud adalah lembaran seratus rupiah tempo dulu. Sisanya, misterilah yang mengambang.

Perihal perempuan ini pun tidak ada yang tahu persis asal usulnya. Semua hanya mengira-ngira. Dia datang dan pergi begitu saja, muncul dan tenggelam dari balik gunung, demikianlah sebagian terkaan warga. Meski demikian, ada beberapa orang warga yang menyebutkan, perempuan ini bermukim di bukit pinggiran desa. Dia memiliki rumah kecil di sana. Bahkan sebagian warga, terbiasa mendengar teriakan-teriakan mirisnya pada tengah malam-malam tertentu.  

Rumor yang berkembang, perempuan ini gila. Dia kehilangan akal sehatnya bersamaan dengan hilangnya anak gadisnya yang diasuh susah payah. Konon kabarnya, dahulu dia adalah gadis yang sangat pandai meramu obat-obatan tradisional yang digunakan untuk mengobati para serdadu di zaman “gerombolan”. Karena kepandaian dan parasnya yang ayu, dikalangan serdadu, namanya melejit.  Ujungnya, dia memiliki seorang anak dari salah satu serdadu tersebut. Namun karena Si Serdadu enggan bertanggung jawab, maka dia melahirkan dan merawat sendiri anaknya.

Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, demikian pula rupa anak tersebut. Perpaduan wajah ibu dan Si Serdadu, membuat kecantikannya sempurna. Menginjak remaja, anak itu menjauhi Si Ibu karena ibunya tak sanggup memberi hidup layak yang sepadan dengan kecantikannya. Dia mengecam banyak hal dalam hidupnya, termasuk Si Ibu yang hanya bisa menanak air mata setiap hari. Karena itu, Si Anak meninggalkan rumah, pergi entah kemana. Setahu ibunya, dia ke pasar bersama teman sebayanya yang memberi tawaran pekerjaan. Setelah itu, dia tidak pernah kembali lagi. Inilah awal pencarian perempuan tua itu. Ke pasar, ke jalan-jalan, sampai kembali lagi ke bukit, lalu mengulangi lagi perjalanannya esok hari. Dia terbiasa berbincang sendiri, seolah dia berkawal malaikat yang serupa kawan.

Di desaku, orang-orang memanggilnya, Rapa’. Nama yang berasal dari kata ‘rapat’ yang disesuaikan dengan aksen bahasa duri, Suku Massenrempulu. Rapa’ sebab perempuan itu selalu mendekati, merapat pada siapapun yang dijumpainya untuk menanyakan perihal Si Anak dan meminta doi’ lellang (uang merah). Katanya, “malei anakku tiro doi’ lelang yamo na salaina. La kurempunanni doi’ lellang buda-buda supayana madoi’i pole….” (pergi anakku cari uang merah karena itu dia meninggalkanku. Saya akan mengumpulkan uang merah banyak-banyak supaya anakku cepat pulang). Demikianlah kalimat yang selalu diulang-ulangnya jika bertemu dengan siapapun di jalan atau di pasar. Seolah kalimat ini telah diformat otomatis dalam otaknya, keluar begitu saja pada orang-orang.

Rapa’ juga memiliki penampilan yang tidak biasa. Kemana pun dia pergi, pakaiannya selalu rapat. Setelan lengan panjang dan rok panjang yang berlapis-lapis membungkus seluruh tubuhnya. Tidak lupa, di atas kepala, bersarang sebuah sarung lusuh yang menggambarkan rentang waktu jelajahnya. Dia memiliki pengalaman buruk yang menjadi alasannya berpenampilan demikian. Sebab janin bersarang di rahimnya karena dirinya dahulu berpakaian bondik (pendek). Dia menyimpan traumatik yang dalam di pikirannya tentang bagaimana para serdadu itu memanfaatkan tubuhnya, lalu membiarkannya terlunta. Inilah yang membuatnya selalu berteriak-teriak histeris pada tengah malam-malam tertentu, menurut sebagian warga yang merunut kisah hidupnya.

Satu hal yang dibenci Rapa’, jika di pasar dia melihat gadis-gadis belia yang duduk berduaan dengan lelaki. Pun pada belia yang berpakaian bondik. “Poleko!!! anggi’ mu susi bang tu’. Na cacca Puang Lata’ala!” (pulanglah! Jangan seperti itu karena hal tersebut dibenci Allah swt). Katanya. Tetapi kalimatnya ini sering tidak ditanggapi oleh para belia. Sebab Rapa’ adalah perempuan gila. Dan selayaknya Si Gila, kalimatnya sebatas bualan yang memantulkan tawa. Apapun yang dilakukan dan diucapkan Rapa’ tidak pernah ada benarnya di mata orang-orang.

                                                                               ***
Pagi ini, suasana pasar tidak sebagaimana biasanya. Hampir seluruh lapak di jalan masuknya porak-poranda. “Rapa’ mengamuk!!!” teriak seorang pedang sayuran. Amukan itu menyedot orang-orang pasar pada satu titik. Di sana kaki dan tangan Rapa’ terikat pelapah pisang. Amukannya terjadi karena seorang pengunjung pasar mengatakan anaknya telah mati! Demikianlah penjelasan yang terdengar. Di titik itu, aku melihat bola mata Rapa’ merapat. Ada setitik embun menggantung di sudutnya. Isi buntalan yang selalu dibawanya berserakan. Sebilah belati dan lembar-lembar kertas berisi puisi membungkam orang-orang pasar. Mereka tidak menyangka terkaannya meleset.
Aku adalah sebuah koma untuk kau berleha-leha
Mampirlah membuka jendela
Kuncinya kusampir di kelopak mata

Potongan puisi ini tertulis pada sebuah kertas yang kutemukan di sela-sela kerumunan orang yang belum juga mereda.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan kritik apa saja yang anda lihat, rasa, dan pikirkan