Di
desa kecil ini, pasar merupakan palung perjumpaan yang sangat dirindukan. Sebab
dia hanya datang dua kali tiap pekan. Dan dia, perempuan tua dengan sebuah
buntalan berisi entah apa, membebani punggungnya tidak pernah luput mengisi
keramaian pasar. Orang-orang banyak berpendapat tentang buntalan itu. Kata
sebagian, isinya adalah setumpuk pakaian dan barang-barang berharga milik
perempuan itu. Sebagian lagi mengatakan bahwa buntalan itu penuh dengan dedaunan
dan rerumputan yang sudah mengering. Separuh berpendapat, ada banyak uang merah
di buntalan tersebut. Uang merah yang dimaksud adalah lembaran seratus rupiah
tempo dulu. Sisanya, misterilah yang mengambang.
Perihal
perempuan ini pun tidak ada yang tahu persis asal usulnya. Semua hanya
mengira-ngira. Dia datang dan pergi begitu saja, muncul dan tenggelam dari
balik gunung, demikianlah sebagian terkaan warga. Meski demikian, ada beberapa
orang warga yang menyebutkan, perempuan ini bermukim di bukit pinggiran desa.
Dia memiliki rumah kecil di sana. Bahkan sebagian warga, terbiasa mendengar
teriakan-teriakan mirisnya pada tengah malam-malam tertentu.
Rumor
yang berkembang, perempuan ini gila. Dia kehilangan akal sehatnya bersamaan
dengan hilangnya anak gadisnya yang diasuh susah payah. Konon kabarnya, dahulu
dia adalah gadis yang sangat pandai meramu obat-obatan tradisional yang
digunakan untuk mengobati para serdadu di zaman “gerombolan”. Karena kepandaian dan parasnya yang ayu, dikalangan
serdadu, namanya melejit. Ujungnya, dia
memiliki seorang anak dari salah satu serdadu tersebut. Namun karena Si Serdadu
enggan bertanggung jawab, maka dia melahirkan dan merawat sendiri anaknya.
Buah
jatuh tidak jauh dari pohonnya, demikian pula rupa anak tersebut. Perpaduan wajah
ibu dan Si Serdadu, membuat kecantikannya sempurna. Menginjak remaja, anak itu
menjauhi Si Ibu karena ibunya tak sanggup memberi hidup layak yang sepadan
dengan kecantikannya. Dia mengecam banyak hal dalam hidupnya, termasuk Si Ibu
yang hanya bisa menanak air mata setiap hari. Karena itu, Si Anak meninggalkan rumah,
pergi entah kemana. Setahu ibunya, dia ke pasar bersama teman sebayanya yang
memberi tawaran pekerjaan. Setelah itu, dia tidak pernah kembali lagi. Inilah
awal pencarian perempuan tua itu. Ke pasar, ke jalan-jalan, sampai kembali lagi
ke bukit, lalu mengulangi lagi perjalanannya esok hari. Dia terbiasa berbincang
sendiri, seolah dia berkawal malaikat yang serupa kawan.
Di
desaku, orang-orang memanggilnya, Rapa’. Nama yang berasal dari kata ‘rapat’
yang disesuaikan dengan aksen bahasa duri, Suku Massenrempulu. Rapa’ sebab
perempuan itu selalu mendekati, merapat pada siapapun yang dijumpainya untuk
menanyakan perihal Si Anak dan meminta doi’
lellang (uang merah). Katanya, “malei
anakku tiro doi’ lelang yamo na salaina. La kurempunanni doi’ lellang buda-buda
supayana madoi’i pole….” (pergi anakku cari uang merah karena itu dia
meninggalkanku. Saya akan mengumpulkan uang merah banyak-banyak supaya anakku
cepat pulang). Demikianlah kalimat yang selalu diulang-ulangnya jika bertemu
dengan siapapun di jalan atau di pasar. Seolah kalimat ini telah diformat
otomatis dalam otaknya, keluar begitu saja pada orang-orang.
Rapa’
juga memiliki penampilan yang tidak biasa. Kemana pun dia pergi, pakaiannya
selalu rapat. Setelan lengan panjang dan rok panjang yang berlapis-lapis membungkus
seluruh tubuhnya. Tidak lupa, di atas kepala, bersarang sebuah sarung lusuh
yang menggambarkan rentang waktu jelajahnya. Dia memiliki pengalaman buruk yang
menjadi alasannya berpenampilan demikian. Sebab janin bersarang di rahimnya
karena dirinya dahulu berpakaian bondik (pendek).
Dia menyimpan traumatik yang dalam di pikirannya tentang bagaimana para serdadu
itu memanfaatkan tubuhnya, lalu membiarkannya terlunta. Inilah yang membuatnya
selalu berteriak-teriak histeris pada tengah malam-malam tertentu, menurut sebagian
warga yang merunut kisah hidupnya.
Satu
hal yang dibenci Rapa’, jika di pasar dia melihat gadis-gadis belia yang duduk
berduaan dengan lelaki. Pun pada belia yang berpakaian bondik. “Poleko!!! anggi’ mu
susi bang tu’. Na cacca Puang Lata’ala!” (pulanglah! Jangan seperti itu
karena hal tersebut dibenci Allah swt). Katanya. Tetapi kalimatnya ini sering tidak
ditanggapi oleh para belia. Sebab Rapa’ adalah perempuan gila. Dan selayaknya
Si Gila, kalimatnya sebatas bualan yang memantulkan tawa. Apapun yang dilakukan
dan diucapkan Rapa’ tidak pernah ada benarnya di mata orang-orang.
***
Pagi
ini, suasana pasar tidak sebagaimana biasanya. Hampir seluruh lapak di jalan masuknya
porak-poranda. “Rapa’ mengamuk!!!” teriak seorang pedang sayuran. Amukan itu
menyedot orang-orang pasar pada satu titik. Di sana kaki dan tangan Rapa’
terikat pelapah pisang. Amukannya terjadi karena seorang pengunjung pasar
mengatakan anaknya telah mati! Demikianlah penjelasan yang terdengar. Di titik
itu, aku melihat bola mata Rapa’ merapat. Ada setitik embun menggantung di
sudutnya. Isi buntalan yang selalu dibawanya berserakan. Sebilah belati dan
lembar-lembar kertas berisi puisi membungkam orang-orang pasar. Mereka tidak
menyangka terkaannya meleset.
Aku adalah sebuah koma untuk kau
berleha-leha
Mampirlah membuka jendela
Kuncinya kusampir di kelopak mata
Potongan
puisi ini tertulis pada sebuah kertas yang kutemukan di sela-sela kerumunan
orang yang belum juga mereda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan kritik apa saja yang anda lihat, rasa, dan pikirkan