Kamis, 06 Mei 2010

Puisi Untuk Oemar Bakri

Aku yang terkesima memandangi sosok renta dengan rambut tersisir rapi
Mengajarkan angka-angka yang melilit
Membincang tentang moral yang terjepit
Membaca sajak-sajak kemanusiaan yang mulai terapit
Perlahan, kening tak lagi berkerut
Dan senyum itu, memberi hangat di beranda jiwa
Sederhanamu, memahat kehalusan sikap yang tak lagi kutemui

Sorot mata cerlang, membekas di sudut-sudut hati
Menempel pada papan tulis dan kapur putih yang mengukir barisan pengetahuan
Dan bangku-bangku kayu, sama sekali tak retak sebab kata yang kau adu
Mengirimkan sepoi ditandusnya pikiran
Dinding-dinding tripleks tetap putih, hitam enggan bertandang apalagi memudarkannya

Jika sekarang masih tetap ada
Sepeda ontel, membawa sosokmu ke sini
Akan kukabarkan:
"ruangan semakin rapi, lantai berubin putih, tak ada kapur dan papan tulis kayu."
Akan kubisikkan, "Jangan kaget!"
Sebab otak semakin kosong
Pendidik tak sehalus budimu
Kepintaran terpenjara di terali bilangan
Potensi terkubur dalam standar angka-angka
Hingga generasi bangsaku perlahan mati
Terpaksa kalah dan penanya patah

Makassar, 1 Mei 2010

Balada Buruh Harian

Apalah daya si kecil ini
Hanya memiliki otot, tidak otak
Memeras keringat sepanjang hari
Mengharap upah, agar perut bisa terisi

Aku hanyalah buruh kecil, di pabrik yang besar
Sekolahku tak cukup untuk memakai dasi
Nyaliku sebatas gesekan mesin-mesin
Anakku empat, kecil-kecil
Mereka butuh makan dan uang sekolah

Istriku mengandung delapan setengah bulan
Butuh biaya persalinan dan gizi cukup
Rumahku sempit, atapnya bocor-bocor
Itu pun sebentar lagi tergadai, sebab utangku mulai menumpuk

Kebutuhan hidup tambah menjepit
Dan tubuhku semakin ringkih
Anak-anakku harus makan dan sekolah!
Biar kelak
Nasib, tak kuwariskan
Padanya

Makassar, menjelang May Day, 30 April 2010