“Cantikta, Bu…!”
Hari ini, tiba-tiba
saja seorang murid berusia enam tahun menegurku. Kau cantik sekali/ Dan aku suka/ Kau lain sekali/ Dan aku suka, sontak
saja potongan lagu Lobow ini bersiweleran di benakku. Entah apa yang berbeda
pada diriku hari ini, sebab kurasa semuanya biasa-biasa saja.
Aku gembira? Yah, tentu
saja aku sangat gembira. Siapa sih yang tidak gembira dipuji demikian. Apalagi jika
pujian itu berasal dari mulut anak kecil yang menurut beberapa teori bahwa
ucapan anak kecil itu selalu jujur. Tetapi tunggu dulu, ada yang lebih
membuatku gembira, dari sekadar pujian tadi.
Begini runut pembawa
kegembiraan itu. Setelah melempar salam di daun pintu, aku meneruskan langkah
langsung ke ruang kerja para guru. Tunggu sebentar, jangan membayangkan ruang
kerja yang kumaksud semegah ruangan para pejabat di gedung wakil rakyat, atau
seluas ruang kerja guru-guru di sekolah pada umumnya! Ruang kerja kami, hanya
berukuran 4 x 4 meter, dan di situlah semua perangkat kerja, mainan, lemari
buku-buku, tumpukan-tumpukan kardus berisi hasil “kreativitas” guru-murid, dan
cerita-cerita, berkumpul. Di sanalah pagi tadi kudapati dua orang rekanku
sedang asyik menikmati sarapan paginya.
Belum juga rapatkan
duduk di lantai (di ruang kerja kami tidak ada satu pun kursi), seorang rekan
mewartakan perihal akan datangnya seorang murid baru di sekolah kami. Murid baru? Pikirku. Iya, di group WA,
rekan yang lain memang memberi tahukan demikian, meski dia enggan menyebut
siapa. Aku dan dua orang rekanku yang sedari tadi menguyah-nguyah sebungkus
nasi kuning mulai menebak-nebak. Walhasil, ternyata tebakan kami mengarah pada
satu sosok yang sama. Haaaaaa…. Benarkah,
Dia? Sebenarnya, bukan persoalan diri anak yang kami maksud bersama yang
kupertanyakan. Karena dahulu, kami beberapa kali bersua dengan anak ini. Yang saya
persoalkan perihal alasan datang/ pindahnya ke tempat kami yang ruang kerjanya
hanya 4 x 4 meter. Karena setahuku, anak ini telah terdaftar sebagai salah satu
murid di sekolah yang ruang kerja para gurunya bersih, rapi, dan memiliki kursi.
Aku mulai lagi
menduga-duga, deg-degan di halaman menanti kedatangan anak misterius ini. Dan BENAR!!!
Dia yang sebagaimana dugaan kami muncul di hadapan. Rekan guru yang bersamanya
datang, senyam-senyum menghampiri. Untuk pengusir penasaran di otak yang serasa
ingin tumpah, langsung saja kutanyakan, “mengapa?”
Ibunya ingin
mengajarkan tentang “sederhana”. Demikian jawabannya kusimpulkan. Nah, perihal
inilah saya jauh lebih gembira dari kata cantik yang dilontarkan muridku tadi. Padahal
untuk kondisi sekarang, kata cantik adalah hipnotis paling sakti yang dapat
membuat perempuan melambung ke langit. Mengapa aku lebih senang dengan “sederhana”?
Sebab kesederhanaan ujungnya akan mengantarkan kita pada jalan cinta! Baik pada
tuhan, apatah lagi pada sesama. Begitu yang kudapati dari para suhu
kehidupanku. Fatwa Confucius perihal hidup itu
sederhana, tetapi kita cenderung membuatnya rumit, mendukungnya. Bahwa kesederhanaan
hidup lebih mendekatkan kita pada kebahagiaan, tetapi kita terkadang lebih
memilih dan menonjolkan hidup yang berlebihan.
Ini penting
menurutku dari sekadar lekatan “cantik”. Sungguh sedikit orang tua semisal Ibu
anak yang kuceritakan mau mengolah pikir demikian. Kebanyakan menuntut anaknya
menjadikan hidup sebagai ajang perlombaan materi. Bahwa segala sesuatu jika ada
uang, dapat dibeli. Banyak juga orang tua yang menggiring anaknya sejak dini berpendapat
tentang bagus selalu berbanding lurus pada banyaknya uang yang dibayarkan dan
mewahnya tempat yang dikunjungi. Contoh sederhananya, foto-foto makan keluarga
di restoran mewah, lebih banyak nangkring
di beranda FB dari pada foto-foto keluarga yang sedang family time dengan masak bersama di dapur sendiri (Ini rada-rada
menghakimi, yah? Hahaha… bukan maksudku). Dan cantik? Akh… itu belakangan saja,
belajar sederhana dululah. Sebab jika sederhana, maka cantik sudah meliputi di
dalamnya sebagaimana paket 2 in 1.
Sudahlah!
Kopiku tinggal sebatas ampas, dan sederhananya hidupku sekarang ada pada
segelas kopi. Bukankah hitam dan pahit itu “sederhana”, tetapi mungkin tidak
cantik.
Wah! bagus blog anda. Kelihatan jujur dan bertenaga. RUMAH KATA juga judul Blog yang menarik perhatian. Saya pernah menulis "Almari Kata" saya tukarkan menjadi Almari Diksi... :) Tahniah sekali lagi. Saya suka... :D
BalasHapus