Selasa, 26 Januari 2016

Cantik atau Sederhana?

Cantikta, Bu…!”

Hari ini, tiba-tiba saja seorang murid berusia enam tahun menegurku. Kau cantik sekali/ Dan aku suka/ Kau lain sekali/ Dan aku suka, sontak saja potongan lagu Lobow ini bersiweleran di benakku. Entah apa yang berbeda pada diriku hari ini, sebab kurasa semuanya biasa-biasa saja.

Aku gembira? Yah, tentu saja aku sangat gembira. Siapa sih yang tidak gembira dipuji demikian. Apalagi jika pujian itu berasal dari mulut anak kecil yang menurut beberapa teori bahwa ucapan anak kecil itu selalu jujur. Tetapi tunggu dulu, ada yang lebih membuatku gembira, dari sekadar pujian tadi.


Begini runut pembawa kegembiraan itu. Setelah melempar salam di daun pintu, aku meneruskan langkah langsung ke ruang kerja para guru. Tunggu sebentar, jangan membayangkan ruang kerja yang kumaksud semegah ruangan para pejabat di gedung wakil rakyat, atau seluas ruang kerja guru-guru di sekolah pada umumnya! Ruang kerja kami, hanya berukuran 4 x 4 meter, dan di situlah semua perangkat kerja, mainan, lemari buku-buku, tumpukan-tumpukan kardus berisi hasil “kreativitas” guru-murid, dan cerita-cerita, berkumpul. Di sanalah pagi tadi kudapati dua orang rekanku sedang asyik menikmati sarapan paginya.

Belum juga rapatkan duduk di lantai (di ruang kerja kami tidak ada satu pun kursi), seorang rekan mewartakan perihal akan datangnya seorang murid baru di sekolah kami. Murid baru? Pikirku. Iya, di group WA, rekan yang lain memang memberi tahukan demikian, meski dia enggan menyebut siapa. Aku dan dua orang rekanku yang sedari tadi menguyah-nguyah sebungkus nasi kuning mulai menebak-nebak. Walhasil, ternyata tebakan kami mengarah pada satu sosok yang sama. Haaaaaa…. Benarkah, Dia? Sebenarnya, bukan persoalan diri anak yang kami maksud bersama yang kupertanyakan. Karena dahulu, kami beberapa kali bersua dengan anak ini. Yang saya persoalkan perihal alasan datang/ pindahnya ke tempat kami yang ruang kerjanya hanya 4 x 4 meter. Karena setahuku, anak ini telah terdaftar sebagai salah satu murid di sekolah yang ruang kerja para gurunya bersih, rapi, dan memiliki kursi.

Aku mulai lagi menduga-duga, deg-degan di halaman menanti kedatangan anak misterius ini. Dan BENAR!!! Dia yang sebagaimana dugaan kami muncul di hadapan. Rekan guru yang bersamanya datang, senyam-senyum menghampiri. Untuk pengusir penasaran di otak yang serasa ingin tumpah, langsung saja kutanyakan, “mengapa?”

Ibunya ingin mengajarkan tentang “sederhana”. Demikian jawabannya kusimpulkan. Nah, perihal inilah saya jauh lebih gembira dari kata cantik yang dilontarkan muridku tadi. Padahal untuk kondisi sekarang, kata cantik adalah hipnotis paling sakti yang dapat membuat perempuan melambung ke langit. Mengapa aku lebih senang dengan “sederhana”? Sebab kesederhanaan ujungnya akan mengantarkan kita pada jalan cinta! Baik pada tuhan, apatah lagi pada sesama. Begitu yang kudapati dari para suhu kehidupanku. Fatwa Confucius perihal hidup itu sederhana, tetapi kita cenderung membuatnya rumit, mendukungnya. Bahwa kesederhanaan hidup lebih mendekatkan kita pada kebahagiaan, tetapi kita terkadang lebih memilih dan menonjolkan hidup yang berlebihan.

Ini penting menurutku dari sekadar lekatan “cantik”. Sungguh sedikit orang tua semisal Ibu anak yang kuceritakan mau mengolah pikir demikian. Kebanyakan menuntut anaknya menjadikan hidup sebagai ajang perlombaan materi. Bahwa segala sesuatu jika ada uang, dapat dibeli. Banyak juga orang tua yang menggiring anaknya sejak dini berpendapat tentang bagus selalu berbanding lurus pada banyaknya uang yang dibayarkan dan mewahnya tempat yang dikunjungi. Contoh sederhananya, foto-foto makan keluarga di restoran mewah, lebih banyak nangkring di beranda FB dari pada foto-foto keluarga yang sedang family time dengan masak bersama di dapur sendiri (Ini rada-rada menghakimi, yah? Hahaha… bukan maksudku). Dan cantik? Akh… itu belakangan saja, belajar sederhana dululah. Sebab jika sederhana, maka cantik sudah meliputi di dalamnya sebagaimana paket 2 in 1.


Sudahlah! Kopiku tinggal sebatas ampas, dan sederhananya hidupku sekarang ada pada segelas kopi. Bukankah hitam dan pahit itu “sederhana”, tetapi mungkin tidak cantik.

1 komentar:

  1. Wah! bagus blog anda. Kelihatan jujur dan bertenaga. RUMAH KATA juga judul Blog yang menarik perhatian. Saya pernah menulis "Almari Kata" saya tukarkan menjadi Almari Diksi... :) Tahniah sekali lagi. Saya suka... :D

    BalasHapus

silahkan kritik apa saja yang anda lihat, rasa, dan pikirkan