Rabu, 17 Maret 2010

PERJUANGAN IDENTITAS KAUM PEREMPUAN (Kilas Balik Hari Perempuan Sedunia)


Asal Usul Hari Perempuan
            Persamaan senasib dan sepenanggungan buruh perempuan yang terjadi di Amerika Serikat pada awal abad 17 telah melahirkan sebuah gerakan spektakuler. Pada 1908 berdirilah serikat buruh perempuan yang pertama bernama Women?s Trade Union Eague = WTUL. Sekitar 15.000 buruh perempuan kemudian berjalan mengelilingi kota New York, mereka menuntut, perbaikan, dan kenaikan upah. Pada 28 Februari 1909, pertama kali di Amerika di peringati sebagai hari perempuan nasional. Partai sosialisasi Amerika yang memperingati hari itu sebagai hari mogoknya buruh perempuan di New York 1908. Pada tahun 1910, kaum sosialisasi internasional mengadakan konferensi perempuan sedunia pertama di Copenhagen, Denmark.
            Clara Zetrin seorang aktifis terkemuka yang mengusulkan, kaum perempuan agar mempunyai satu hari untuk melancarkan tuntutan setiap tahunnya. Usulan ini mendapat dukungan dari 100 perempuan dari 17 negara yang mengikuti konferensi tersebut. Setahun kemudian hari perempuan internasional dirayakan pada tanggal 19 Maret di Austria, Denmark, Jerman, dan Swizzerland. Namun enam hari kemudian terjadilah Tragedi Triangle Factory Fire yang menewaskan 140 pekerja garmen perempuan. Kurangnya pengamanan di sinyalir sebagai penyebab Insiden ini.
            Tahun berikutnya (1913-1917) Hari Perempuan Internasional juga menjadi sebuah mekanisme untuk memprotes perang dunia di Eropa. Pada 8 Maret 1913 perempuan di seluruh Eropa melakukan demonstrasi damai, yang menandai hari perempuan sedunia. Di Rusia terbukti menjadi langkah awal revolusi Rusia yang memprotes Bred and Peace atau Roti & Perdamian. Oleh sebab itu pada tanggal 8 Maret dikenal sebagai Hari Perempuan Internasional dan perempuan diizinkan untuk memilih dalam pemilu. Hari perempuan sedunia merupakan perayaan sedunia, untuk memperingati keberhasilan perempuan dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial. Hari perempuan juga untuk memperingati tragedi Triangle Factory Fire (New York 1911). Hari perempuan sedunia pertama kali diperingati pada tanggal 8 Maret 1975, dan sejak itu menjadi hari perempuan

Perjuangan Identitas  Kaum Perempuan
             Senada dengan hari perempuan sedunia yang jatuh pada tanggal 8 Maret 2010, maka penulis cenderung melihat adanya degradasi paradigma gerakan yang bias bagi perempuan Indonesia. Mereka cenderung kehilangan identitas dan akar kebudayaan lokal yang disebabkan pengadobsian budaya global dari dunia barat yang notabene adalah pelaku gerakan keperempuanan seperti Negara-negara di Eropa, Amerika, dan Rusia. Inilah yang coba dibahas oleh Jurgen Habermas dalam analisis mutakhirnya. Habermas berpendapat bahwa usaha-usaha manusia dalam membentuk identitasnya sangat dipengaruhi oleh ideologi (misal: agama). Habermas melihat, realitas dunia di luar (misal: Globalisasi) manusia memiliki pengaruh yang kuat dalam pembentukan identitas dan hal ini banyak terjadi pada kaum perempuan.
            Habermas memformulasikan tri-party identity dalam melihat krisis global kapitalisme-neoliberalisme. Identitas pertama adalah “lokalisasi”. Dalam ruang identitas ini, manusia cenderung menyempit dan menjauh dari hiruk pikuk daya global. Manusia terjebak dalam identitas nasionalisme dan rasa ke-agama-an yang sempit dan cenderung menolak apa pun yang berasal dari luar. Meneguhkan identitas diri tanpa mau kompromi dengan dunia di luar dirinya. Habermas melihat contoh ini pada kasus Iran, 9/11, atau kasus kartun Muhammad. Identitas kedua adalah “globalisasi”. Dalam identitas ini manusia telah melakukan post-nationalitas bahkan post-etnisitas, dimana identitas agama, etnis atau kebangsaan tidak penting lagi. Manusia lebih memilih menjadi warga negara global. Identitas ini cenderung tercerabut dari identitas akar. Identitas ketiga adalah “glokalisasi”. Di sini manusia memilih untuk melakukan transaksi dan adopsi dan kadang penolakan dalam perjumpaan dengan dunia luar. Identitas yang ketiga ini adalah identitas yang mencoba meng-kompromi-kan realitas dasar dan luar dari dalam dirinya. Apa yang ada di dunia global di masukkan dalam dunia lokal. Dan sebaliknya, apa yang ada dalam realitas lokal dimasukkan dalam dunia global. Dalam identitas ini terjadi proses aktif dalam perjalanan dari horizon satu ke yang lainnya.
            Untuk konteks sekarang, Indonesia sebagai salah satu negara yang dihuni oleh banyak komunitas perempuan masih ragu-ragu memberikan kata “ia” bagi kaum perempuan untuk penegasan identitasnya. Penuturan Habermas mengenai identitas “lokalisasi” menjebak kaum perempuan Indonesia untuk tidak berpikir kreatif, kurang inovatif dan pasif. Budaya yang terbangun (budaya patriarki) membelenggu perempuan dalam kejenuhan di ruang domestik dan keterjebakan diruang publik. Jika perempuan Indonesia coba mengadopsi identitas “globalisasi”, maka globalisasi mencoba melakukan pengaburan batas ruang dan waktu antar bangsa, atau daerah tertentu. Sehingga apapun yang terjadi disebrang sana (barat) dalam hitungan detik dapat disaksikan juga di negara kita. Hal inilah yang terkadang membuat perempuan Indonesia terperangkap pada hal-hal yang tidak substansial seperti pengadopsian model pakaian, body dan perangkat-perangkat kosmetik selebriti terkenal, dan kurang tertarik pada tokoh-tokoh perempuan yang memiliki prestasi dalam dunia politik, ekonomi, dan pendidikan. Mereka lebih mengenal Britney Spears dibanding Bunda Teresa, perempuan yang memperjuangkan perdamaian dan kemanusiaan di Kalkutta, Gayatri Spivak, salah satu feminis dunia ketiga, atau Suciwati ( istri almarhum Munir ) sang revolusi bagi penegakan hak asasi manusia. Demikian halnya dengan aktualisasi identitas “glokalisasi” yang mengantarkan perempuan Indonesia dalam balutan budaya popular dan melupakan tradisi lokalnya yang menyimpan begitu banyak pesan moral bagi kaum perempuan.
            Hingga sekarang, tak ada jalan yang jelas bagi kaum perempuan untuk kembali mengenal ke-diri-annya. Budaya global terlanjur menjauhkannya dari identitas ketimuran , perempuan Indonesia dan budaya patriarki yang masih menguat dalam lokalitas masing-masing menutup ruang dialog bagi perempuan untuk menemukan solusi keterpurukannya. Pengadopsian budaya barat secara frontal mengaburkan batas-batas antara “boleh” atau “tidak”. Hal inilah yang seharusnya dikaji ulang sebagai ajang refleksi terhadap hari perempuan sedunia, agar perempuan Indonesia dapat memposisikan dirinya dalam transformasi sosial dan tidak hanya dikenal dengan komunitas seputar “Kamar, Kasur dan Kompor” atau plesetan sadis “perempuan dan perempukan”. 


The Queen Seon Deok; Antara Cinta dan Amanah Seorang Pemimpin

Masih segar diingatan kita tentang kisah seorang dokter perempuan pertama di Korea, Dae Jang Geum yang difilmkan dengan judul Jewel in the Palace karya Kim Young Hyun. Sekarang penulis handal korea ini bersama dengan Park Sang Yeon, menulis lagi film yang tetap mengangkat tema feminisme dan kental dengan sejarah Korea kuno berjudul The Queen Seon Deok. Karya ini mengisakhan tentang Queen Seondeok yang terlahir sebagai seorang putri dari dinasti Silla yang kemudian akan memerintah sebagai Ratu atau penguasa dinasti Shilla pada tahun 632 s.d 647 M. Dia adalah penguasa ke-27 dan Kaisar wanita pertama dinasti Silla. Shilla sendiri merupakan salah satu dari tiga kerajaan terbesar di Korea yang bermula dari kerajaan kecil di Konfederasi Samhan. Pada tahun 660 Masehi Silla bersekutu dengan Dinasti Tang berhasil menaklukkan kerajaan Baekje serta Goguryeo pada tahun 668.

Pada masa Tiga Kerajaan di Korea, Deokman (nama Ratu Seondeok saat kecil) lahir sebagai anak kembar, tapi dia dibuang saat masih bayi. Dia kemudian kembali ke Kerajaan Silla, dimana dia bergabung dengan saudari kembarnya Putri Chonmyong melawan Lady Mi-shil yang punya rencana jahat untuk melenyapkan ke dua putri dari Kerajaan Silla. Dalam pertempuran, Putri Chonmyong dibunuh oleh Lady Mi-Shil. Tapi Putri Deokman dengan bantuan Jenderal Kim Yoo Shin berhasil melenyapkan Lady Mi-Shil. Dia akhirnya menjadi Kaisar wanita pertama kerajaan Shilla. Sebelum dia meninggal karena sakit yang dideritanya, dia telah benar-benar melaksanakkan semua tugas yang diembannya sebagai seorang Raja. Meletakkan dasar penyatuan 3 kerajaan, memajukan kerajaannya di semua bidang, mulai dari pertanian, budaya, dan pertahanan. Mendidik rakyatnya dengan mendirikan menara pengamat bintang sehingga mereka mampu menjadikan tanda alam sebagai ilmu untuk menyejahterakan rakyat. Termasuk mengakhiri banyak pemberontakkan yang terjadi selama masa pemerintahannya dengan tegas dan tanpa pandang bulu menghukum orang-orang yang melakukan pemberontakan terhadap kerajaannya.

Sebagaimana karya sebelumnya, Kim Young Hyun, berusaha mencitrakan sosok kepemimpinan perempuan secara piawai. Namun menariknya film ini tidak terletak pada banyaknya perempuan hebat di kerajaan Shilla seperti Deokman, putri Chonmyong dan Mi-shil. Karena pada masa kejayaan kerajaan Shilla, di Korea memang berlaku garis keturunan matrilineal di samping patrilineal dalam sistem sosial kemasyarakatan. Yang menarik dalam film ini bagi penulis adalah kisah cinta segetiga antara Kim Yoo Shin, Deokman, dan Bidam serta usaha Deokman (Ratu Seondeok) sebagai pemimpin untuk menyatukan tiga kerajaan Korea (Goguryeo, Baekje dan Silla) atau Shilla bersatu sebagaimana cita-cita leluhurnya. Dalam kisah ini sang ratu harus mengorbankan cintanya dan kasih sayang orang-orang yang ada di sekitarnya, demi menjadi pemimpin untuk rakyat Shilla.

Diceritakan bahwa Yoo Shin(panglima kerajaan Shilla) menaruh hati pada Putri Deokman, sang bakal ratu Shilla. Tetapi demi tahta yang harus diperjuangkan Putri Deokman guna melawan Mi-shil sebagai pihak yang berusaha menggulingkan kekuasaan keturunan raja-raja Shilla. Kim Yoo Shin hanya mampu mencintainya dengan melakukan semuanya, memberikan segalanya untuk sang calon ratu tersebut. Yoo Shin pun benar-benar mencintai sang ratu dengan mengabdikan diri sepenuhnya dan memperlakukan Deokman, seseorang yang dicintainya, sebagai seorang yang harus dihormati dan dipatuhi karena mengemban tugas besar sebagai seorang pemimpin. Begitupun dengan Putri Deokman, dia pun harus melalui jalan yang telah dipilihnya untuk menjadi calon Raja dengan menerima kenyataan bahwa orang yang mencintainya harus berkorban untuk hal itu juga. Dan itu membuat Sang ratu merasa kesepian karena orang yang mencintainya tidak bisa mencintainya dengan sepenuhnya sebagaimana orang-orang pada umumnya. Selain Yoo Shin, Bi Dam (ketua departemen keamanan kerajaan Shilla) yang merupakan putra hasil hubungan Mi Shil dengan Raja Jinji yang terbuang, juga menaruh hati pada sang Ratu dan begitupun sebaliknya sang Ratu terhadap Bi Dam. Dari sinilah, usaha Putri Deokman untuk menjalankan tugas kepemimpinannya dan menjadikan Shilla bersatu terhambat oleh kemelut perasaannya.

Dilema cinta menjadi semakin kusut oleh pemberontakan yang dilakukan oleh Bi Dam yang merasa tidak dipercaya oleh sang ratu dan kesal pada Kim Yoo Shin karena hasutan orang-orang di sekitarnya. Dalam pemberontakannya, Di Dam terbunuh justru pada saat Sang Ratu telah benar-benar mencintainya dan berniat melepaskan tahtanya untuk menjalani kehidupan bersama Bi Dam. Namun begitu, dalam keadaan tertekan atas berbagai peristiwa yang menderanya dan kisah asmaranya yang patah, Ratu Seon Deok, berhasil meletakkan dasar penyatuan tiga kerajaan atas bantuan Kim Yoo Shin dan teman-temannya.

Dari kisah ini, tergambar dengan jelas kisah cinta Bi Dam yang cenderung ingin memiliki dan membunuh semua potensinya untuk memperoleh perhatian dari sang ratu meski harus menggunakan usaha-usaha yang licik layaknya seorang pejabat yang senantiasa mencari perhatian atasannya dan mengabaikan akal sehat serta kepentingan orang banyak. Selain itu, Bi Dam juga binasa karena kelicikan sebagian orang yang memanfaatkan posisinya untuk meraih kekuasaan. Tokoh Kim Yoo Shin yang berhasil mengolah rasa cintanya menjadi lebih kreatif dan heroik sehingga tak memiliki alasan apapun untuk menuangkan rasa cintanya selain membela kepentingan negaranya. Yoo Shin menarasikan kehidupan seorang pembesar kerajaan yang peka terhadap kondisi negara dan jujur dalam bertindak. Hidup bisa sedemikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesama. Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya. Demikianlah pesan yang dapat diambil dalam film ini.

Dari kisah tersebut, mata terbuka lebar tentang bagaimanapun hebatnya seorang pemimpin, jika tidak mampu mengolah rasanya dan mencampur adukkan kepentingan negara dan pribadi. Jalannya tidak mudah dan akan mendapat banyak kritikan dari rakyat sebagaimana pemerintahan Indonesia saat ini, yang cenderung mencampur adukkan segala kepentingan untuk kepuasan pribadi dan kelompok. Beruntung, Ratu Seondeok yang diperankan oleh Lee Yo Won, mampu menyelesaikan masalahnya dengan baik dan merangkul segala masukan dari rakyatnya meskipun ia harus mengorbankan cinta pribadi demi kecintaan pada rakyatnya. Karena itu, dia sangat dicintai dan sangat dipercaya pula oleh rakyatnya. Semoga pemimpin kita saat ini pun demikian. Mampu menemukan kembali kepercayaan dari rakyatnya dan tidak terjebak antara romantisme cinta, serta kejayaan masa lalu dalam menjalankan amanah kepemimpinannya.

Para Pencari Cinta (naskah drama mini)


Epilog

            Suatu senja di Anjungan Losari, puluhan muda-mudi berkumpul melepas penat dan menjauh dari kebisingan kota. Sebagian bercakap-cakap berkelompok dan sebagian lagi asyik menikmati senja dengan pasangan masing-masing. Menikmati matahari terbenam kala senja mulai menjemput malam juga menjadi aktivitas rutin bagi Alvin dan Melati. Bagi mereka Ajungan Losari merupakan potret kota Makassar yang dipenuhi kesibukan dan kerumitan masyarakat kota. Hal ini mengakibatkan munculnya sikap individualistik dan terabaikannya masyarakat pinggiran yang mengadu nasib di sepanjang Anjungan Losari. Tidak ada satu pun yang perduli dengan intrik dan derita yang terjadi pada kehidupan mereka. Sementara mereka harus memilih mencari Cinta yang tersembunyi pada bangunan-bangunan beton, sementara itu pula masyarakat ekonomi dan penguasa asyik memperkaya diri. Inilah yang menjadi sumber inspirasi bagi Alvin yang berprofesi sebagai penyair untuk menulis sebuah puisi. Namun kegemaran Alvin ini kurang diminati oleh kekasihnya Melati karena dia merasa kurang diperhatikan. Sehingga menghadirkan problema antara Alvin dan Melati sekaligus menguak latar belakang siapa sebenarnya Melati.

Kisah ini diperankan oleh Enam tokoh yaitu:

  1. Syahril Alvin              sebagai  Alvin
  2. Zulfatmi                     sebagai  Melati
  3. Muchniar                   sebagai  Pengemis
  4. Siti Fatimah               sebagai  Ayu
  5. Jumriani                     sebagai  Ratih
  6. Jusnaedah                  sebagai  Ana

Alur Ceritanya : Maju-mundur
Dialog teks

Alvin dan Melati duduk berdampingan pada sebuah bangku panjang tanpa ada percakapan. Alvin sibuk menulis pada selembar kertas dan Melati mempermainkan ponselnya.

Ana                 : (Melintas menawarkan minuman botol ke Melati)
   ”Minumnya, Mbak?” dan Melati menolak.
                          (Ana menawarkan lagi ke Alvin dan Alvin pun menolak)
Melati             : ”Sampai kapan aku harus duduk di sini, mematung memperhatikan kamu    
    yang sibuk sendiri dengan kertas itu?”
Alvin               : ”Sabar, Mel!"
Melati             : ”Aku punya batas kesabaran, Al. Hampir setiap kali kita ke sini,  kamu  hanya sibuk dengan kertas dan penamu. Kapan kau sisakan waktu untukku? Seberapa pentingnya puisi-puisi itu , Al?” (nada marah)
 ”coba kamu perhatikan di sudut sana (sambil menunjuk ke sudut ruangan) mereka pasangan romantiskan?”
Alvin               : (Melipat kertasnya lalu menatap Melati)
                          ”Romantis itu tidak bisa diukur hanya dengan rangkulan dan pegangan tangan, Mel. Bisa saja hari ini mereka terlihat romantis tetapi entah esok apakah itu masih tetap seperti sekarang.” (sambil tersenyum)
                          ”Mel, kitakan sudah lama pacaran. Apalagi kita berdua telah komitmen ke jenjang selanjutnya. Seharusnya kamu bersikap dewasa dengan hubungan kita.”
Melati             : ”Maaf, aku tidak bisa!”
Alvin               : ”Maksud kamu?”
Melati             : ”Aku tidak bisa menjalani hubungan ini lebih serius. Aku ragu?!”
Alvin               : ”Mengapa? Padahal kemarin....”
Melati             : (Memotong pembicaraan Alvin)
                          ”Iya, kemarin aku memang setuju dengan rencana itu karena aku mengira kamu bisa berubah dan lebih memperhatikan aku. Tetapi ternyata aku salah!! Puisi-puisi konyol itu lebih penting daripada aku!” (nada marah)
Alvin               : ”Aku sama sekali tidak pernah berpikir membandingkan kamu dengan puisi ini. Tolong Mel, aku mohon sedikit kebijaksanaanmu. Aku mencintaimu dan aku akan terus berpuisi untuk menyuarakan kehidupan mereka.” (menunjuk sekeliling tempat pentas)
Melati             : ”Apa yang bisa kamu berikan kepadaku dari puisi-puisi itu?” (tertawa mencibir), ”Puisi itu hanya sederetan kata, tak bisa digunakan untuk membeli beras. Apalagi untuk menghidupi keluarga!”
Alvin               : ”Dengan puisi ini aku akan memberimu cinta. Maaf jika kamu ragu! Aku akan tetap optimis dengan kehidupan yang kujalani sekarang. Beri aku kesempatan, Mel untuk membuktikannya.”
Ratih               : (Melintas pengamen di depan Alvin dan Melati. Tanpa diminta dia menyanyikan sebait lagu)
                          ”Permisi....” (Ratih memainkan alat musik dari tutup botol . Lagunya terhenti saat Alvin memberinya recehan. Ratih berlalu dan mengamen di tempat lain)

Sejenak suasana hening

Melati             : ”Aku bingung, aku bosan hidup susah, aku lelah dengan kehidupanku sekarang, aku....” (kata-kata Melati terpotong dengan kehadiran seorang pengemis tua)
Pengemis        : ”Nak, aku mohon belas kasihnya. Berilah aku sedikit uang. Ibu lapar, Nak!” (nada mengibah)
Melati             : ”Kami tidak punya uang!” (sambil menoleh ke arah pengemis)
                          (Melati dan pengemis sama-sama tersentak)
Pengemis        : ”Me... Me... Melati.” (nadanya terbata-bata sambil menunjuk ke arah Melati)
Alvin               : ”Kamu kenal dia?” (bingung)
Melati             : ”Aku tidak kenal dia.”
Pengemis        : ”Melati, kamu ini kanapa, Nak?”
Melati             : (Mendorong pengemis) ”Pergi sana!! Kalau mau mengemis, cari tempat lain. Jangan di sini mengganggu orang.”
Pengemis        : (Terjatuh), ”Aduuuh!!!”

Dari dua sudut yang berbeda, Ana, Ayu, dan Ratih berlari ke arah Si pengemis dan membantunya berdiri.

Ayu                 : ”Tega yah kamu dengan ibu yang telah melahirkan kamu? Atau begini balasan kamu kepada ibu yang dengan susah payah membesarkan kita?”
Melati             : ”Mbak tidak usah ikut campur! Dia sendiri kok yang salah, datang tidak lihat-lihat waktu.”
Alvin               : ”Tunggu... tunggu. Mbak ini siapa? Siapa ibu ini?” (masih kebingungan)
Pengemis        : ”Ayu, sudahlah. Ibu tidak apa-apa!”
Ayu                 : ”Tidak, Bu. Dia sudah keterlaluan! Dengar baik-baik, aku kakaknya Melati dan dia (sambil menunjuk ke arah pengemis) ibu kami!”
Melati             : (Memandang Alvin dan Ayu bergantian)
                          ”Kalian puas? Aku memang anak seorang pengemis. Aku lahir dan besar di jalanan. Tetapi aku tidak pernah meminta lahir dengan nasib seperti ini. Seandainya aku bisa memilih, aku menyesal lahir dari rahim seorang pengemis yang tak pernah bisa memberikan kebahagiaan untukku.”

Pengemis menangis dan Ayu terdiam

Ratih               : ”Astaqfirullah.... istiqfar, Mel!”
Pengemis        : ”Mel, ibu tidak menyangka kamu tega mengucapkan kata-kata itu.” (Pengemis pinsan)
Ana                 : ”Bu... Bangun, Bu!” (mencari minyak angin dalam tas usangnya dan menolong pengemis)
Ayu                 : (Berlari ke arah pengemis dan membantu Ana memberikan perawatan)
Alvin               : ”Mel, dia ibumu. Bagaimanapun keadaan dan latar belakang kamu, aku tetap mencintaimu. Minta maaflah ke ibumu, karena dengan cintanya jalan kita akan mendapat ridho Tuhan.”

Melati menunduk dan terdiam. Alvin menemani Melati menemui ibunya yang telah siuman.
Melati             : (Dengan agak ragu dan malu-malu mencium tangan ibunya dan mereka saling berangkulan). Sementara Alvin, Ayu, dan Ratih tersenyum.
Ana                 : ”Ternyata memang benar yah, setiap orang butuh perhatian, setiap orang butuh kasih sayang, setiap orang merindukan cinta. Kita semua adalah para pencari Cinta dan beruntunglah mereka yang tetap bijak memelihara cinta. Marilah merindui dengan sederhana dan mencintai dengan sempurna.”
Ratih dan Ayu : ”Puitis juga kamu.” (sambil tertawa)        
( Ratih, Ayu, Pengemis, Ana, Melati kembali kepada aktivitasnya masing-masing dan Alvin langsung membacakan puisi)

Pencari Cinta

Sepotong cinta menjerit-jerit
Pada kebekuan malam yang kelam
Menyelinap di balik ketebalan kabut
Berjalan sendiri sambil menangis

Senja tadi dia terusir
Dari sepenggal hati yang kaku
Terlantar tanpa daya
Tercerabut dari cahayanya

Dia telah mati
Saat cinta itu pergi
Dalam raganya berkobar bara
Tak kunjung padam tanpa cinta

Astagfirullah.... Astagfirullah... Astagfirullah....
Cinta jangan jauh
Cinta takkan kau mati
Cinta hadirkan lentera
Aku kini mencarimu

Bulukumba, 20 Januari 2010 (dibuat untuk mata kuliah "Kajian dan Apresiasi Drama")

Rabu, 03 Maret 2010

Lelaki Tua Menjemput senja

Dia, lelaki tua bertubuh lunglai….
Berteman gerobak,menyisir senja dengan sejuta asa
Memungut remah-remah rezeki yang bertebaran di sepanjang jalan

Dia, rangka usang yang berusaha tegak
Menahan beban berat yang menimpa kala matahari memanggil malam
Menanti kebaikan hati Tuan, menikmati apa yang digadainya

Dia, sekilas raut berupa duka
Tersembunyi pada tulang-tulang yang terjepit kulit
Sejumput harap bersemi di hatinya, “akankah daganganku selaris kemarin?”


Bulukumba, 3 Maret 2010

(Buat: Si pabak tua yang setiap sore mendorong gerobak kacangnya dengan tertatih-tatih dan markir di depan masjid saat waktu shalat maqrib tiba...aku haru, aku salut, dan aku tak tahu harus membahasakan takjubku padanya. seandainya kalian semua melihat, mungkin apa yg kurasa sama seperti apa yg kalian rasa. Kenapa harus sedia ini, dia berjalan memungut rezeki....TUHAN!!!!!)