Jumat, 20 April 2012

Mr. X



Aku menduakanmu, walaupun hanya dalam pahamanku. Selingkuhkah aku???

Sudah dua hari ini, bergantian dua orang di masa laluku yang pernah berbunga menyapaku kembali. Entah bagaimana caranya mereka menemukan nomor ponselku yang kusembunyikan sedemikian rupa, yang jelasnya suara mereka terdengar riuh lagi di gendang telingaku. Dan kehadiran mereka, mengusik imajinasi liarku mengenang kembali segala hal yang pernah dirasai bersama. Belum lagi pertemanan dalam jejaring sosial, membuat aku semakin banyak menelan remah-remah kata yang mengotori hati dan pikiran. Beruntunglah, dewasaku masih sedikit mengingatkan bahwa hati ini telah dan harus tertambat pada satu orang yang telah lama menemani perjalananku. Terakhir, aku kembali dikejutkan dengan satu pesan singkat yang begitu saja terbaca di layar ponselku;

Sekilas Mengintip Perjalanan Raden Ajeng Kartini



Tiada yang salah dengan perpedaan dan segala yang kita punya.
Yang salah adalah sudut pandang kita,
Yang membuat kita terpisah.

Bagaimana  Kartini Mengawalinya?

Kutipan di atas mencoba meluruskan pikiran-pikiran miring selama ini yang selalu saja memperhadap-hadapkan posisi perempuan dan laki-laki. Bahwa perbedaan yang ada, entah itu karena alasan nurture (gender) ataukah nature (biologis) bukanlah menjadi penghalang bagi laki-laki dan perempuan untuk bermitra. Setiap kita memiliki kesempatan yang sama dalam melakukan aktivitas apapun dalam proses pencerahan dan kecemerlangan pikiran. Inilah yang membuat Raden Ajeng Kartini termotivasi untuk melakukan perubahan di kalangan perempuan yang pada saat itu sama sekali tidak memikirkan diri dan partisipasinya dalam transformasi sosial (emansipasi). Dalam perjalanannya, terlihat bahwa Kartini tidak pernah menafikan keterlibatan laki-laki sebagai teman seperjuangannya. Ini terbukti pada potongan tulisan dalam bukunya yang terkenal, Habis Gelap Terbitlah Terang, “Akan lebih banyak lagi yang saya kerjakan untuk bangsa ini bila saya ada di samping seseorang laki-laki yang cakap, yang saya hormati, yang mencintai rakyat rendah sebagai saya juga. Lebih banyak, kata saya, daripada yang dapat kami usahakan sebagai perempuan yang berdiri sendiri”.

Rabu, 18 April 2012

Sekuntum Edelweis dan Lelaki Di Suatu Sore

Aku menyukai keindahan, itu wajar-wajar saja. Siapa yang tidak suka dengan bebungaan yang membentang luas di hadapan atau suara gulungan ombak yang berkejaran. Kau sukakan? Aku pun memujanya. Sama seperti kecintaanku pada bunga keabadian, edelweis. Entah mengapa aku begitu menyukainya, sampai- sampai setiap ada kabar seseorang akan menggapai ketinggian puncak tempat edelweis berada, aku pun berusaha menitip sekuntum saja untuk dipetik pulang. Hasilnya, bunga itu menumpuk dan mengering di beberapa bagian kamarku. Awal kecintaanku pada bunga ini hadir bersaman dengan bermukimnya seseorang di puncak hatiku di suatu sore. Dia datang menawari kerinduan yang memalung di hatinya dengan sekuntum bunga edelweis. “Kutawari engkau segunung keabadian pada rindu yang kutitipkan untukmu,” katanya. Karena begitu tertarik pada kuntuman bunga di tangannya dan sedikit terpesona pada ketulusannya, kudekap kerinduan itu. Persoalan rasa, biarlah nanti kusemai pada kuntuman edelwais pemberiannya.

Titik Merah Muda

Hujan berhenti gemerisiknya. Perlahan-lahan kecerahan di cakrawala telah nampak. Hembusan angin pun menyejuk dari dinginnya. Sore yang indah! Siapapun yang melihatnya, pasti akan berucap sama dengannya. Dia menyukai sore ini, apalagi suasana di taman kota itu, mengingatkannya pada satu nama yang sulit lekang oleh waktu yang menelikung perjalanannya. Di tempat inilah, awalnya dia mengenal seseorang yang memerhatikannya dari jauh, dan melayangkan senyum paling manisnya saat mata mereka tidak sengaja beradu. Dia merinduinya, sama seperti dia merindui mekaran bunga yang merona di tempat ini. Sungguh, sosoknya adalah jelmaan Yusuf yang tersohor kesempurnaannya. Perjumpaan dia dengannya membangkitkan kerinduan untuk menyempurna bersamanya. Dan perlahan-lahan kerinduan itu membuka jalan pertemuan. Telah beberapa kali Zakiah meluangkan waktu ke taman itu, hanya sekedar menanti mata teduh yang memandangnya dari kejauhan. Pun Si pemilik keteduhan itu juga menginginkan yang sama dari Zakiah. Dia merindui senyuman gadis mungil dari balik kuncup bebungaan. Itu telah beberapa kali terjadi, sampai mereka akhirnya memutuskan berkenalan.

Daeng Kebe, Daeng Jumpa, Dan Bintang Jatuh


Bella atau Daeng Kebe, begitulah dia biasanya akrab disapa orang-orang di sekitar tempat tinggalnya. Dia berasal dari salah satu daerah kecil di bagian selatan kota Makassar. Sebagaimana kebanyakan orang, anggapan tentang indahnya kota metropolitan dan cita-cita hidup nyaman di kota membuatnnya sekeluarga berpindah domisili. Meski awalnya ditentang oleh Daeng Jumpa, namun kebulatan tekad Daeng Kebe meluluhkan hatinya. Sebagai bekal untuk bertahan hidup sementara, maka sebidang tanah warisan orang tuanya dan seekor sapi peliharaan terjual. “Sebagai ongkos dan modal,” katanya. Alasan lain kepindahannya karena kagum melihat orang-orang sekampungnya yang telah lama hidup di kota, pulang ke kampung pada waktu-waktu tertentu dengan penampilan menarik. Berbeda dengannya yang berkulit hitam dan bau matahari selalu membayanginya meskipun sebenarnya dia cantik. Mengingat usianya yang baru sekitar 18 tahun, maka dia pun ingin seperti teman-temannya hidup nyaman di kota dan mendapat pujian karena penampilan yang terawat dan uang yang banyak.

SPASI



Rintik hujan masih mengetuk-ngetuk atap rumahku, aku pun semakin terpuruk menatapi lembaran putih di depanku. Kosong, karena tak satupun kata dapat kutulis di dalamnya. Padahal aku sudah berjanji menuliskan sebait puisi untuknya, sebagai hadiah ulang tahunnya. Aku benar-benar kesulitan mengakurkan hati dan pikiranku dalam satu barisan kalimat. Mungkin karena akhir-akhir ini aku terlalu lekat dengannya. Ataukah dirinya telah begitu lama tersimpan dalam pikiranku. Kurasa dia terlalu sempurna untuk kutulis. Tetapi harus tetap kutulis, setidaknya aku memiliki sebuah puisi atau cerita tentangnya.

           Dia kunamai anonim, sebab aku benar-benar tidak tahu siapa namanya. Aku pun tidak mau mencari tahu, karena dengan menatapnya saja, aku merasa begitu banyak tahu tentangnya. Sama seperti diriku mengetahui hari kelahirannya, bukan mencari tahu tetapi hanya sekedar mendengar dari teman-teman yang akrab dengannya. Itupun secara tidak sengaja. Meski begitu, perlahan-lahan dia mekar di hatiku. Tak pernah saling menyapa, bertukar senyum, apalagi saling berkelakar. Memang aneh, tapi itulah aku dan dia. Padahal hampir setiap hari aku dan dia berpapasan, sebab kami kuliah di universitas yang sama, jurusan yang sama, tetapi kelas yang berbeda.

Cuap-Cuap Sepintas "Potret Perempuan Dalam Media"

Kita lahir dengan dua mata di depan wajah kita, kerana kita tidak boleh selalu melihat ke belakang. Tapi pandanglah semua itu ke depan, pandanglah masa depan kita.

 Mengapa Perempuan?

Perempuan atau wanita? Pertanyaan ini sangat identik dengan jenis kelamin yang menyerap banyak sisi-sisi feminitas kosmik. Kita memanggilnya wanita ataukah perempuan, sebenarnya bukan merupakan berdebatan yang substansial. Yang penting adalah bagaimana feminitas itu menyublim secara sempurna dalam diri perempuan (wanita) dan merealitas secara nyata dalam tindakannya. Meski banyak yang menolak dirinya disapa wanita dengan alasan kata ini identik dengan kata “betina” yang memiliki makna tidak estetik untuk memanggil perempuan. Namun banyak juga yang mengiyakan dalam tindakannya. Dan sebagian lagi merasa lebih terhormat dipanggil perempuan.