Sabtu, 23 Juni 2012

Satu Lirik Genapi Episode Hidupmu


Sahabat sejatiku, hilangkah dari ingatanmu
Di hari kita saling berbagi
Dengan kotak sejuta mimpi, aku datang menghampirimu
Kuperlihat semua hartaku
Kita s’lalu berpendapat, kita ini yang terhebat
Kesombongan di masa muda yang indah
Aku raja kaupun raja
Aku hitam kaupun hitam
Arti teman lebih dari sekedar materi*

Ditemani lantunan lirik ini, tiba-tiba saja rinduku kian memalung. Masih ingat? Seribu musim yang pernah kita lalui bersama. Terseok-seok pastinya, namun tidak menjadi masalah sebab kita masih begitu muda dan dunia tetap sempurna di mata kita. Saat aku, kamu, kita, ceria menjejaki titian mimpi yang selalu menjadi bahan perbincangan membelah senja. Bukan berarti kita adalah pemimpi atau hanya sekedar membagi cerita melengkapi romansa angin sepoi, tetapi beginilah sejatinya hidup. Penuh imajinisai, mimpi yang entah kapan akan kita semai. Tak memiliki akhir yang pasti, namun kita begitu menikmatinya.

Narasi Satu Senyuman

Duka Di Sudut Jendela; Suatu Hari Pastinya

Ditangan kanak-kanak,
kertas menjelma perahu Sinbad yang tak takluk pada gelombang.
menjelma burung,
yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan;
di mulut anak-anak, kata menjelma kitab suci.

Tuan, jangan kau ganggu permainanku ini. (Sapardi Djoko Damono)

Dia tidak pernah meminta lebih dari hidupnya sekarang. Dia tidak juga tidak ingin memilih sebagaimana aral yang membentang luas di hadapannya. Apalagi berani menunggu satu hal di luar mampu dan sadarnya. Dia hanyalah seorang anak, layaknya dedaunan. Tidak pernah menggantungkan hidup pada aliran muara, apalagi akan terombang-ambing entah kemana. Pun bukan pusaran angin, yang sejenak namun meluluhlantakan bangunan-bangunan kesadaran orang-orang di sekelilingnya. Sekali lagi, dia masih kecil. Hanya butuh sepetak ruang, bermain tanpa setumpuk beban yang pelan menggunung.

Black Shadow


Entah bagaimana ceritanya, dia adalah perempuan kecil yang takut akan gelap. Menurutnya, kegelapan adalah sebuah ruang yang penuh dengan cemeti. Kegelapan adalah jiwa yang bergelayut kesengsaraan. Iya, demikianlah sederhananya dia memaknai gelap. Pernah suatu hari, kutemui dia begitu menggigil dalam kegelapan. Namun dia pun enggan bercerita, mengapa? Yang pasti, keringatnya bercucuran, suara terbata-bata, matanya mencari-cari titik cahaya, dan tubuhnya yang lunglai, cukup memberiku isyarat bahwa dia sedemikian takut. Begitulah, aku mengenalinya. Anak perempuan manis dengan seribu satu pertanyaan bergelantungan di wajahnya.

Usikan Rinai Hujan


Sungguh inilah bahasa hujan yang paling sendu

Menitik halus satu persatu, menyentuh denting jiwa terdalam

Mengetuk pelan kehampaan qalbu, yang telah dimatikan rasa. Bagaimana tidak, sejuk itu memilin diri, menjatuhkannya pada kebersalahan manunggal pada satu jiwa yang tak kuberi ruang menyempurna. Yang selalu saja datang layaknya hujan saat kegersangan benar-benar membunuh nurani.

Sabtu, 02 Juni 2012

Hingga Ujung Waktu

Akhirnya aku menemukanmu
Saat ku bergelut dengan waktu
Beruntung aku menemukanmu
Jangan pemah berhenti memilikiku
Hingga ujung waktu

Pada suatu perjalanan pulang, tak henti-hentinya potongan lirik ini memenuhi satu ruang di hatiku.  Aku merasa, ada kekuatan tertentu yang ingin dibisikkan lagu ini padaku, yang menyusuri terik siang tadi. Kesadaranku merasa disentuh dengan sebuah kekuatan yang begitu syahdu tentang makna mensyukuri apa yang telah dimiliki. Dalam bentangan waktu yang terus berlari memotong hari-hari, terkadang kita lupa atau bahkan menapikan peran-peran orang yang berada di sekeliling kita. Khususnya, pada orang-orang yang sebenarnya sangat mencintai kita dengan setulus hati, namun ditanggapi dengan setengah hati. Tetapi bukan manusia namanya, jika tidak menuntut yang lebih dari pada apa yang telah dimiliki, katanya!

Senin, 07 Mei 2012

Ali Syariati Berbicara; Perempuan


Sedikit Bertutur Tentang Syariati

"I have no religion, but if I were to choose one, it would be that of Shariati's."
-Jean Paul Sartre-

Demikianlah Jean Paul Sartre mengagumi sosok Ali Syariati. Meski kita tahu, dalam banyak tulisan Ali Syariati, mengkritik dengan keras aliran ateis-romantisme yang dikembangkan oleh Sartre dan kelompok eksistensialisme yang lain. Namun menariknya, Sartre sendiri memuji Syariati setelah kematiannya dengan menyatakan bahwa, “dia akan menjadi penganut agama Syariati jika terpaksa memilih agama”. Perjalanan selanjutnya, akhirnya Satre banyak mendapat inspirasi dari gagasan Syariati, terutama dalam persoalan etika, kebebasan, dan hati nurani.

Jumat, 20 April 2012

Mr. X



Aku menduakanmu, walaupun hanya dalam pahamanku. Selingkuhkah aku???

Sudah dua hari ini, bergantian dua orang di masa laluku yang pernah berbunga menyapaku kembali. Entah bagaimana caranya mereka menemukan nomor ponselku yang kusembunyikan sedemikian rupa, yang jelasnya suara mereka terdengar riuh lagi di gendang telingaku. Dan kehadiran mereka, mengusik imajinasi liarku mengenang kembali segala hal yang pernah dirasai bersama. Belum lagi pertemanan dalam jejaring sosial, membuat aku semakin banyak menelan remah-remah kata yang mengotori hati dan pikiran. Beruntunglah, dewasaku masih sedikit mengingatkan bahwa hati ini telah dan harus tertambat pada satu orang yang telah lama menemani perjalananku. Terakhir, aku kembali dikejutkan dengan satu pesan singkat yang begitu saja terbaca di layar ponselku;

Sekilas Mengintip Perjalanan Raden Ajeng Kartini



Tiada yang salah dengan perpedaan dan segala yang kita punya.
Yang salah adalah sudut pandang kita,
Yang membuat kita terpisah.

Bagaimana  Kartini Mengawalinya?

Kutipan di atas mencoba meluruskan pikiran-pikiran miring selama ini yang selalu saja memperhadap-hadapkan posisi perempuan dan laki-laki. Bahwa perbedaan yang ada, entah itu karena alasan nurture (gender) ataukah nature (biologis) bukanlah menjadi penghalang bagi laki-laki dan perempuan untuk bermitra. Setiap kita memiliki kesempatan yang sama dalam melakukan aktivitas apapun dalam proses pencerahan dan kecemerlangan pikiran. Inilah yang membuat Raden Ajeng Kartini termotivasi untuk melakukan perubahan di kalangan perempuan yang pada saat itu sama sekali tidak memikirkan diri dan partisipasinya dalam transformasi sosial (emansipasi). Dalam perjalanannya, terlihat bahwa Kartini tidak pernah menafikan keterlibatan laki-laki sebagai teman seperjuangannya. Ini terbukti pada potongan tulisan dalam bukunya yang terkenal, Habis Gelap Terbitlah Terang, “Akan lebih banyak lagi yang saya kerjakan untuk bangsa ini bila saya ada di samping seseorang laki-laki yang cakap, yang saya hormati, yang mencintai rakyat rendah sebagai saya juga. Lebih banyak, kata saya, daripada yang dapat kami usahakan sebagai perempuan yang berdiri sendiri”.

Rabu, 18 April 2012

Sekuntum Edelweis dan Lelaki Di Suatu Sore

Aku menyukai keindahan, itu wajar-wajar saja. Siapa yang tidak suka dengan bebungaan yang membentang luas di hadapan atau suara gulungan ombak yang berkejaran. Kau sukakan? Aku pun memujanya. Sama seperti kecintaanku pada bunga keabadian, edelweis. Entah mengapa aku begitu menyukainya, sampai- sampai setiap ada kabar seseorang akan menggapai ketinggian puncak tempat edelweis berada, aku pun berusaha menitip sekuntum saja untuk dipetik pulang. Hasilnya, bunga itu menumpuk dan mengering di beberapa bagian kamarku. Awal kecintaanku pada bunga ini hadir bersaman dengan bermukimnya seseorang di puncak hatiku di suatu sore. Dia datang menawari kerinduan yang memalung di hatinya dengan sekuntum bunga edelweis. “Kutawari engkau segunung keabadian pada rindu yang kutitipkan untukmu,” katanya. Karena begitu tertarik pada kuntuman bunga di tangannya dan sedikit terpesona pada ketulusannya, kudekap kerinduan itu. Persoalan rasa, biarlah nanti kusemai pada kuntuman edelwais pemberiannya.

Titik Merah Muda

Hujan berhenti gemerisiknya. Perlahan-lahan kecerahan di cakrawala telah nampak. Hembusan angin pun menyejuk dari dinginnya. Sore yang indah! Siapapun yang melihatnya, pasti akan berucap sama dengannya. Dia menyukai sore ini, apalagi suasana di taman kota itu, mengingatkannya pada satu nama yang sulit lekang oleh waktu yang menelikung perjalanannya. Di tempat inilah, awalnya dia mengenal seseorang yang memerhatikannya dari jauh, dan melayangkan senyum paling manisnya saat mata mereka tidak sengaja beradu. Dia merinduinya, sama seperti dia merindui mekaran bunga yang merona di tempat ini. Sungguh, sosoknya adalah jelmaan Yusuf yang tersohor kesempurnaannya. Perjumpaan dia dengannya membangkitkan kerinduan untuk menyempurna bersamanya. Dan perlahan-lahan kerinduan itu membuka jalan pertemuan. Telah beberapa kali Zakiah meluangkan waktu ke taman itu, hanya sekedar menanti mata teduh yang memandangnya dari kejauhan. Pun Si pemilik keteduhan itu juga menginginkan yang sama dari Zakiah. Dia merindui senyuman gadis mungil dari balik kuncup bebungaan. Itu telah beberapa kali terjadi, sampai mereka akhirnya memutuskan berkenalan.

Daeng Kebe, Daeng Jumpa, Dan Bintang Jatuh


Bella atau Daeng Kebe, begitulah dia biasanya akrab disapa orang-orang di sekitar tempat tinggalnya. Dia berasal dari salah satu daerah kecil di bagian selatan kota Makassar. Sebagaimana kebanyakan orang, anggapan tentang indahnya kota metropolitan dan cita-cita hidup nyaman di kota membuatnnya sekeluarga berpindah domisili. Meski awalnya ditentang oleh Daeng Jumpa, namun kebulatan tekad Daeng Kebe meluluhkan hatinya. Sebagai bekal untuk bertahan hidup sementara, maka sebidang tanah warisan orang tuanya dan seekor sapi peliharaan terjual. “Sebagai ongkos dan modal,” katanya. Alasan lain kepindahannya karena kagum melihat orang-orang sekampungnya yang telah lama hidup di kota, pulang ke kampung pada waktu-waktu tertentu dengan penampilan menarik. Berbeda dengannya yang berkulit hitam dan bau matahari selalu membayanginya meskipun sebenarnya dia cantik. Mengingat usianya yang baru sekitar 18 tahun, maka dia pun ingin seperti teman-temannya hidup nyaman di kota dan mendapat pujian karena penampilan yang terawat dan uang yang banyak.

SPASI



Rintik hujan masih mengetuk-ngetuk atap rumahku, aku pun semakin terpuruk menatapi lembaran putih di depanku. Kosong, karena tak satupun kata dapat kutulis di dalamnya. Padahal aku sudah berjanji menuliskan sebait puisi untuknya, sebagai hadiah ulang tahunnya. Aku benar-benar kesulitan mengakurkan hati dan pikiranku dalam satu barisan kalimat. Mungkin karena akhir-akhir ini aku terlalu lekat dengannya. Ataukah dirinya telah begitu lama tersimpan dalam pikiranku. Kurasa dia terlalu sempurna untuk kutulis. Tetapi harus tetap kutulis, setidaknya aku memiliki sebuah puisi atau cerita tentangnya.

           Dia kunamai anonim, sebab aku benar-benar tidak tahu siapa namanya. Aku pun tidak mau mencari tahu, karena dengan menatapnya saja, aku merasa begitu banyak tahu tentangnya. Sama seperti diriku mengetahui hari kelahirannya, bukan mencari tahu tetapi hanya sekedar mendengar dari teman-teman yang akrab dengannya. Itupun secara tidak sengaja. Meski begitu, perlahan-lahan dia mekar di hatiku. Tak pernah saling menyapa, bertukar senyum, apalagi saling berkelakar. Memang aneh, tapi itulah aku dan dia. Padahal hampir setiap hari aku dan dia berpapasan, sebab kami kuliah di universitas yang sama, jurusan yang sama, tetapi kelas yang berbeda.

Cuap-Cuap Sepintas "Potret Perempuan Dalam Media"

Kita lahir dengan dua mata di depan wajah kita, kerana kita tidak boleh selalu melihat ke belakang. Tapi pandanglah semua itu ke depan, pandanglah masa depan kita.

 Mengapa Perempuan?

Perempuan atau wanita? Pertanyaan ini sangat identik dengan jenis kelamin yang menyerap banyak sisi-sisi feminitas kosmik. Kita memanggilnya wanita ataukah perempuan, sebenarnya bukan merupakan berdebatan yang substansial. Yang penting adalah bagaimana feminitas itu menyublim secara sempurna dalam diri perempuan (wanita) dan merealitas secara nyata dalam tindakannya. Meski banyak yang menolak dirinya disapa wanita dengan alasan kata ini identik dengan kata “betina” yang memiliki makna tidak estetik untuk memanggil perempuan. Namun banyak juga yang mengiyakan dalam tindakannya. Dan sebagian lagi merasa lebih terhormat dipanggil perempuan.

Rabu, 07 Maret 2012

Epos Perempuan Bugis Makassar Yang Hampir Dilupakan (Curhatku Menyambut Hari Perempuan Sedunia)

Kembali melihat awal abad 17 sampai abad 18 di Eropa saat terjadi revolusi pencerahan di Belanda, revolusi industri di Perancis, dan revolusi sosial-politik di Amerika Serikat, maka bermunculanlah sekelompok perempuan membawa isu-isu gender dan feminisme. Motivasi gerakannya adalah adanya ketidakadilan gender, menuntut persamaan hak laki-laki dan perempuan, serta penegasan indentitas kaum perempuan, khususnya di Eropa. Berlanjut pada abad 19 dengan corak dekonstruksinya pada wacana gender dan feminisme, sampai sekarang wacana tersebut masih sering diperbincangkan diberbagai daerah termasuk Indonesia. Pun pada masyarakat Bugis-Makassar.

Menjaring Pelangi


Pekat
spektrum warna pun tak terbiaskan
Bentuk melebur dalam gelap
Dan mulailah kita
Meraba jalan dengan sedikit harapan akan terang
Dengan bisikan hati yang juga mengabur
Kita menerka tanda
Yang mungkin memberi ruang
Atau menawarkan jeda pada sebuah perjalanan panjang

Selasa, 28 Februari 2012

Just For My Mother

Dan disinilah kita membagi cerita
Diantara senyapsenyap tangis
Yang kau simpan rapat di sudut rautmu
Memekarkan senyum
Untuk kukecup manisnya

Dan tempat inilah pengumpul peristiwa
Saat duduk berdua
Bersua membagi cinta
Menyelami dalamnya tatapmu
Meneguk cawan kasih
Yang selau kau bagi tanpa jeda

Balada Orang Gila

Mereka menyebutku gila
Biarlah
Memang saat ini
Aku gila
Dan larut dalam kegilaan

Hahahhaaa
Benarbenar gila
Acuh saja
Ada dunia indah di lembah gila
Dimana dusta menjadi asing
Bermain main gembira dengan desiran angin
Berbasah basah dalam guyuran hujan
Teriak teriak