Sedikit Bertutur
Tentang Syariati
"I have no religion, but
if I were to choose one, it would be that of Shariati's."
-Jean Paul Sartre-
-Jean Paul Sartre-
Demikianlah Jean Paul Sartre mengagumi
sosok Ali Syariati. Meski kita tahu,
dalam banyak tulisan Ali Syariati, mengkritik dengan keras aliran
ateis-romantisme yang dikembangkan oleh Sartre dan kelompok eksistensialisme
yang lain. Namun menariknya, Sartre sendiri memuji Syariati setelah kematiannya
dengan menyatakan bahwa, “dia akan menjadi penganut agama Syariati jika
terpaksa memilih agama”. Perjalanan selanjutnya, akhirnya Satre banyak mendapat
inspirasi dari gagasan Syariati, terutama dalam persoalan etika, kebebasan, dan
hati nurani.
Dengan begitu, saat orang membincang
tentang Ali Syariati, maka dalam benak kita berkejaran identitas-identitas yang
melekat pada dirinya; Abu Dharr modern dan Rausyan Fikr (free-thinker).
Gelar Abu Dharr modern menggambarkan dirinya sebagai sosok yang berani hidup
sendiri, berjuang sendiri, dan mati sendiri. Ia hidup dan berfikir dengan penuh
kebebasan dan keberanian. Ia memberontak terhadap apa pun yang ia anggap salah.
Terma Rausyan Fikr menjelaskan tentang diri Syariati sebagai orang yang sadar
akan keadaan kemanusiaan (human condition)
di masanya. Serta sebuah bentuk kesejarahan dan kemasyarakatan yang memberinya
rasa tanggung jawab sosial dengan caranya sendiri. Dialah sosok intelektual
tercerahkan. Sehingga tidak mengherankan jika, pemikirannya banyak diadobsi
oleh masyarakat akademis pada umunnya, dan kaum muda khususnya.
Lalu Bagaimana
Syariati Memandang Perempuan?
Perempuan adalah inspirasi terindah
karena banyak menyerap sisi feminitas ilahih. Bersama perempuanlah, laki-laki
menemukan kesejatiannya. Namun demikian, masih banyak juga orang yang selalu
mendeskriditkan posisi perempuan sebagai the
second human (manusia kelas kedua). Karena begitu, perempuan layak
diperlakukan, ditafsirkan, dan dibahasakan berdasarkan pemahaman laki-laki.
Dari sinilah, muncul berbagai protes yang oleh kaum perempuan dianggap sebagai
jalan menyamaratakan posisi dan perannya dengan laki-laki. Persoalannya adalah,
bahwa semakin perempuan menyuarakan aspirasinya, semakin pula berbagai definisi
lain bermunculan tentangnya; ikut ngetren,
ingin menjadi laki-laki, dan mewarisi dosa sosial buyutnya karena itu tetaplah
menerima takdirmu untuk ditertawakan. Perempuan selanjutnya, menjadi bias
memaknai diri, dan serba ragu-ragu mengambil tindakan atas banyaknya
pelabelan-pelabelan “negatif” yang mengikutinya setiap kali bergerak.
Kondisi inilah yang coba terjemahkan
oleh Syariati, saat dia berbicara tentang perempuan. Sebagaimana yang termaktub
dalam buku Fatimah; The Greatest Woman In
Islam History, maka dia berusaha menjabarkan bagaimana sebaiknya seorang
perempuan. Inilah satu-satunya referensi yang pernah ditulis Syariati untuk
menjabarkan keistimewaan menjadi perempuan. Dalam salah satu babnya, dia
mengambil tiga tokoh perempuan dengan latar belakang yang berbeda. Menariknya,
keapikan bahasa Syariati membuat kita mudah menemukan titik tengah dari
ketiganya. Pertama, Siti Hajar (ibunda Isma’il as). Tokoh ini, terpilih menjadi
salah satu manusia yang mendapat keistimewaan dari-Nya karena dikuburkan di dalam
Ka’bah; rumah Tuhan yang istimewa selain masjid Nabawi. Hanya ada dua sosok
yang mendapatkan keistimewaan seperti ini; Muhammad saw (masjid Nabawi), dan
Siti Hajar. Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari petikan kisah ini, adalah
bahwa Siti Khajar yang dikenal sebagai budak perempuan mendapatkan keagungan di
sisi-Nya. Ali Syariati sengaja ingin melukiskan bahwa, “Tuhannya Ibrahim telah
memilih seorang perempuan di antara umat manusia yang besar ini sebagai
prajuritnya yang tak dikenal, seorang ibu, dan dia sebagai seorang budak.
Dengan kata lain, Tuhan memilih makhluk yang dalam semua sistem kemanusiaan
tidak memiliki kemuliaan dan kehormatan” (Syariati, 2008: 182). Ini
melambangkan, bahwa meski dalam realitas kehidupan perempuan kelas bawah selalu
dipandang sebelah mata, namun di mata tuhan kelas-kelas sosial tidak berlalu
sedikit pun.
Perempuan kedua yang diceritakan
Syariati dalam buku ini adalah Siti Khadijah. Dia menyebutkan bahwa Khadijah
adalah perempuan yang merelakan kehidupan pribadinya demi garis takdir sang
Nabi. Muhammad; seorang anak yatim dan pengembala, telah menderita kesulitan
dan kemiskinan, kini bersanding dengan Khadijah; kaya raya (Syariati, 2008:
201). Pelajaran yang termaktub bahwa Khadijah adalah simbol kesederhanaan dan
kedermawanan perempuan. Dalam hal ini, Syariati memosisikan perempuan yang
merdeka bukanlah mereka yang diperbudak harta, melainkan mereka yang rela
menyelami kesederhanaan hidup demi memperjuangkan segala hal yang dipahami
ideal.
Selanjutnya, Ali Syariati menceritakan
secara gamblang dalam buku tersebut
tentang putri Muhammad saw; Fatimah Az Zahra. Dia memulai kekagumannya pada
Fatimah saat kelahiraannya di pangkuan Rasulullah bersamaan dengan tidak
dianggapnya seorang bayi perempuan di masanya. Kehadiran Fatimah di
tengah-tengah keluarganya menggantikan posisi anak laki-laki sebagai ahli waris
kejayaan keluarganya. Sekaligus memelihara nilai-nilai kehormatan leluhur
mereka dan melanjutkan pohon keluarga serta kredibilitasnya (Fatimah, 2008:
182). Mengapa Syariati lebih melihat Fatimah? Karena sosok Fatimah merupakan
penyimpul dua sosok sebelumnya, sehingga Ali Syariati pun ketika membaca
Fatimah, riuh berdecak mengagumi perempuan. Dia menjelajahi sosok Fatimah dan
menuliskannya dengan berbagai gelar; Ummu
Abiha, Ummu al-A’immah, Mujahidah,
dan Sang Abidah.
Saat awal kelahirannya, dia telah
dititipkan pada sebuah pasangan; Muhammad saw dan Khadijah, yang tengah
berjuang melepaskan masyarakatnya dari jerat jahiliyah dan segunung tragedi
yang mendera pasangan ini dan keluarganya di masa balitanya. Dari kedua orang
tuanyalah dia menyerap ketabahan untuk menegakkan nilai-nilai luhur. Dia juga
adalah anak yang ditinggal mati ibunya, saat belum sempurna merasakan kasih sayang
ibu, karena begitu, kasih sayang ayahnyalah yang mendekapnya melewati usia
remaja. Sehingga, kecintaan Rasulullah padanya, berbuah limpahan kasih sayang
juga di hatinya. Dia mengasihi, merawat, dan memerlakukan Muhammad saw
sebagaimana seorang ibu memerlakukan anaknya. Dialah Ummu Abiha.
Dalam perjalanan dewasanya bersama Ali
Bin Abi Thalib, Fatimah memberi contoh sebuah bagunan keluarga yang tidak
mengandalkan kemewahan, kekayaan, dan kedudukan. Keduanya hidup sangat sedehana.
Hal ini digambarkan Syariati dengan mengutip sebuah cerita; pada suatu hari
Fatimah sedang menggiling tepung. Ia memakai pakaian dari kulit unta. Nabi
menangis. Ia berkata; Wahai Fatimah, kau teguk kepahitan dunia sekarang ini
untuk kebahagiaan di akhirat nanti. Inilah salah contoh kesederhanaan Fatimah,
karena itu Muhammad saw seringkali menciumi telapak tangan putrinya sendiri,
dan dia layak menempati kemuliaan sebagai Umm
al-A’immah (ibu dari para imam).
Menurut Syari’ati seorang intelektual
adalaha Rausya Fikr, bahwa mereka
adalah orang-orang yang tidak berbicara dalam bahasa universal, melainkan
berbicara dalam bahasa yang bisa dipahami oleh kaummya. Dia tidak hanya
memaparkan fakta dan realita, dia harus mampu memandu kaumnya untuk memberi
penilaian atas fakta dan realita tersebut. Berdasarkan gambaran ini, maka gelar
mujahidah menggambarkan
intelektualitas Fatimah. Dia adalah perempuan pandai yang mencurahkan segala
pemikirannya untuk membela kebenaran yang diperjuangkan ayah dan suaminya. Heroismenya
tercermin pada keterlibatannya di beberapa perang besar; perang Uhud dan perang
Badar. Kefasihan dan keberanian Fatimah, juga terbaca jelas saat menuntut hak
dirinya atas tanah Fadak (sebidang tanah yang dihadiahkan ayahnya untuknya dan
dirampas oleh orang lain). Terakhir, bahwa Fatimah adalah Sang Abidah (ahli ibadah) yang menjadikan doa sebagai media
mengajarkan ajaran Islam kepada pendengarnya, media bersedekah secara ruhania,
dan media perjamuan abadi dengan Tuhannya.
Yah, menyelami
sosok ini memang tidak pernah selesai. Akan selalu mengalir dan tidak akan
ditemui kemana muaranya. Syariati pun mengakui itu dalam sebuah ungkapannya;
Saya akan bangga dan hendak mengatakan, “Fathimah as adalah putri
Khadijah yang besar”.
Saya rasa itu bukan fathimah as.
Saya hendak mengatakan, “ Fathimah as adalah putri Muhammad saw”.
Saya rasa itu juga bukan fathimah as.
Saya hendak mengatakan, “Fathimah as adalah istri Ali as”.
Saya rasa itu juga bukan fathimah as.
Kemudian saya hendak mengatakan, “Fathimah as adalah ibu dari Hasan dan
Husein.”
Itu juga bukan Fathimah as.
Saya hendak katakan, “Fathimah as adalah ibu Zainab”.
Saya masih merasa itu bukan Fathimah as.
Tidak, semua itu benar tetapi tak satu pun yang menggambarkan Fathimah as
yang sesungguhnya.
Fathimah as adalah Fathimah as.
Beginilah sederhananya Syariati
memandang perempuan. Fatimahlah inspirasinya. Darinya dia menggambarkan bahwa
perempuan ideal adalah mareka yang berlimpahan kasih sayang dan membagi
keberlimpahan itu pada sesamanya secara santun. Mereka yang rela meneggelamkan
dirinya dalam kesederhanaan hidup. Mereka yang tak gentar berkata tidak pada
kedzaliman dengan keberanian dan pengetahuannya. Dan mereka yang tidak
memikirkan kebahagiaan dunia semata, melainkan menyelaraskan dengan akhiratnya.
Dia juga berusaha menghapus streotipe dalam
memandang perempuan sebagai manusia kelas kedua, dengan mengangkat cerita
tentang seringnya Muhammad saw menciumi tangan purtinya, Fatimah Az Zahra meski
berpeluh keringat. Rasulullah mengangungkan Fatimah, Rasulullah mencintai dan
memuliakan perempuan.
Makassar, 6
Mei 2012 (00.05-03.00)
Kupersiapkan sebagai bahan diskusi KOSKAR di
Benteng Somba Opu, Ahad 6 Maret 2012 pukul 12.30-15.30 wita.
Ya,,Ali Syariati mengajak kita untuk tdk sekedar menajdi opium bagi masyarakat..tulisan ini inspiratif,,tulisan anda di buku Jejaj Dunia yang Retak juga bagus,,
BalasHapusTerima kasih, sy msh terus belajar....
Hapus