Senin, 07 Mei 2012

Ali Syariati Berbicara; Perempuan


Sedikit Bertutur Tentang Syariati

"I have no religion, but if I were to choose one, it would be that of Shariati's."
-Jean Paul Sartre-

Demikianlah Jean Paul Sartre mengagumi sosok Ali Syariati. Meski kita tahu, dalam banyak tulisan Ali Syariati, mengkritik dengan keras aliran ateis-romantisme yang dikembangkan oleh Sartre dan kelompok eksistensialisme yang lain. Namun menariknya, Sartre sendiri memuji Syariati setelah kematiannya dengan menyatakan bahwa, “dia akan menjadi penganut agama Syariati jika terpaksa memilih agama”. Perjalanan selanjutnya, akhirnya Satre banyak mendapat inspirasi dari gagasan Syariati, terutama dalam persoalan etika, kebebasan, dan hati nurani.

Dengan begitu, saat orang membincang tentang Ali Syariati, maka dalam benak kita berkejaran identitas-identitas yang melekat pada dirinya; Abu Dharr modern dan Rausyan Fikr (free-thinker). Gelar Abu Dharr modern menggambarkan dirinya sebagai sosok yang berani hidup sendiri, berjuang sendiri, dan mati sendiri. Ia hidup dan berfikir dengan penuh kebebasan dan keberanian. Ia memberontak terhadap apa pun yang ia anggap salah. Terma Rausyan Fikr menjelaskan tentang diri Syariati sebagai orang yang sadar akan keadaan kemanusiaan (human condition) di masanya. Serta sebuah bentuk kesejarahan dan kemasyarakatan yang memberinya rasa tanggung jawab sosial dengan caranya sendiri. Dialah sosok intelektual tercerahkan. Sehingga tidak mengherankan jika, pemikirannya banyak diadobsi oleh masyarakat akademis pada umunnya, dan kaum muda khususnya.

Lalu Bagaimana Syariati Memandang Perempuan?

Perempuan adalah inspirasi terindah karena banyak menyerap sisi feminitas ilahih. Bersama perempuanlah, laki-laki menemukan kesejatiannya. Namun demikian, masih banyak juga orang yang selalu mendeskriditkan posisi perempuan sebagai the second human (manusia kelas kedua). Karena begitu, perempuan layak diperlakukan, ditafsirkan, dan dibahasakan berdasarkan pemahaman laki-laki. Dari sinilah, muncul berbagai protes yang oleh kaum perempuan dianggap sebagai jalan menyamaratakan posisi dan perannya dengan laki-laki. Persoalannya adalah, bahwa semakin perempuan menyuarakan aspirasinya, semakin pula berbagai definisi lain bermunculan tentangnya; ikut ngetren, ingin menjadi laki-laki, dan mewarisi dosa sosial buyutnya karena itu tetaplah menerima takdirmu untuk ditertawakan. Perempuan selanjutnya, menjadi bias memaknai diri, dan serba ragu-ragu mengambil tindakan atas banyaknya pelabelan-pelabelan “negatif” yang mengikutinya setiap kali bergerak.
Kondisi inilah yang coba terjemahkan oleh Syariati, saat dia berbicara tentang perempuan. Sebagaimana yang termaktub dalam buku Fatimah; The Greatest Woman In Islam History, maka dia berusaha menjabarkan bagaimana sebaiknya seorang perempuan. Inilah satu-satunya referensi yang pernah ditulis Syariati untuk menjabarkan keistimewaan menjadi perempuan. Dalam salah satu babnya, dia mengambil tiga tokoh perempuan dengan latar belakang yang berbeda. Menariknya, keapikan bahasa Syariati membuat kita mudah menemukan titik tengah dari ketiganya. Pertama, Siti Hajar (ibunda Isma’il as). Tokoh ini, terpilih menjadi salah satu manusia yang mendapat keistimewaan dari-Nya karena dikuburkan di dalam Ka’bah; rumah Tuhan yang istimewa selain masjid Nabawi. Hanya ada dua sosok yang mendapatkan keistimewaan seperti ini; Muhammad saw (masjid Nabawi), dan Siti Hajar. Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari petikan kisah ini, adalah bahwa Siti Khajar yang dikenal sebagai budak perempuan mendapatkan keagungan di sisi-Nya. Ali Syariati sengaja ingin melukiskan bahwa, “Tuhannya Ibrahim telah memilih seorang perempuan di antara umat manusia yang besar ini sebagai prajuritnya yang tak dikenal, seorang ibu, dan dia sebagai seorang budak. Dengan kata lain, Tuhan memilih makhluk yang dalam semua sistem kemanusiaan tidak memiliki kemuliaan dan kehormatan” (Syariati, 2008: 182). Ini melambangkan, bahwa meski dalam realitas kehidupan perempuan kelas bawah selalu dipandang sebelah mata, namun di mata tuhan kelas-kelas sosial tidak berlalu sedikit pun.
Perempuan kedua yang diceritakan Syariati dalam buku ini adalah Siti Khadijah. Dia menyebutkan bahwa Khadijah adalah perempuan yang merelakan kehidupan pribadinya demi garis takdir sang Nabi. Muhammad; seorang anak yatim dan pengembala, telah menderita kesulitan dan kemiskinan, kini bersanding dengan Khadijah; kaya raya (Syariati, 2008: 201). Pelajaran yang termaktub bahwa Khadijah adalah simbol kesederhanaan dan kedermawanan perempuan. Dalam hal ini, Syariati memosisikan perempuan yang merdeka bukanlah mereka yang diperbudak harta, melainkan mereka yang rela menyelami kesederhanaan hidup demi memperjuangkan segala hal yang dipahami ideal.
Selanjutnya, Ali Syariati menceritakan secara gamblang dalam buku tersebut tentang putri Muhammad saw; Fatimah Az Zahra. Dia memulai kekagumannya pada Fatimah saat kelahiraannya di pangkuan Rasulullah bersamaan dengan tidak dianggapnya seorang bayi perempuan di masanya. Kehadiran Fatimah di tengah-tengah keluarganya menggantikan posisi anak laki-laki sebagai ahli waris kejayaan keluarganya. Sekaligus memelihara nilai-nilai kehormatan leluhur mereka dan melanjutkan pohon keluarga serta kredibilitasnya (Fatimah, 2008: 182). Mengapa Syariati lebih melihat Fatimah? Karena sosok Fatimah merupakan penyimpul dua sosok sebelumnya, sehingga Ali Syariati pun ketika membaca Fatimah, riuh berdecak mengagumi perempuan. Dia menjelajahi sosok Fatimah dan menuliskannya dengan berbagai gelar; Ummu Abiha, Ummu al-A’immah, Mujahidah, dan Sang Abidah.
Saat awal kelahirannya, dia telah dititipkan pada sebuah pasangan; Muhammad saw dan Khadijah, yang tengah berjuang melepaskan masyarakatnya dari jerat jahiliyah dan segunung tragedi yang mendera pasangan ini dan keluarganya di masa balitanya. Dari kedua orang tuanyalah dia menyerap ketabahan untuk menegakkan nilai-nilai luhur. Dia juga adalah anak yang ditinggal mati ibunya, saat belum sempurna merasakan kasih sayang ibu, karena begitu, kasih sayang ayahnyalah yang mendekapnya melewati usia remaja. Sehingga, kecintaan Rasulullah padanya, berbuah limpahan kasih sayang juga di hatinya. Dia mengasihi, merawat, dan memerlakukan Muhammad saw sebagaimana seorang ibu memerlakukan anaknya. Dialah Ummu Abiha.
Dalam perjalanan dewasanya bersama Ali Bin Abi Thalib, Fatimah memberi contoh sebuah bagunan keluarga yang tidak mengandalkan kemewahan, kekayaan, dan kedudukan. Keduanya hidup sangat sedehana. Hal ini digambarkan Syariati dengan mengutip sebuah cerita; pada suatu hari Fatimah sedang menggiling tepung. Ia memakai pakaian dari kulit unta. Nabi menangis. Ia berkata; Wahai Fatimah, kau teguk kepahitan dunia sekarang ini untuk kebahagiaan di akhirat nanti. Inilah salah contoh kesederhanaan Fatimah, karena itu Muhammad saw seringkali menciumi telapak tangan putrinya sendiri, dan dia layak menempati kemuliaan sebagai Umm al-A’immah (ibu dari para imam).
Menurut Syari’ati seorang intelektual adalaha Rausya Fikr, bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak berbicara dalam bahasa universal, melainkan berbicara dalam bahasa yang bisa dipahami oleh kaummya. Dia tidak hanya memaparkan fakta dan realita, dia harus mampu memandu kaumnya untuk memberi penilaian atas fakta dan realita tersebut. Berdasarkan gambaran ini, maka gelar mujahidah menggambarkan intelektualitas Fatimah. Dia adalah perempuan pandai yang mencurahkan segala pemikirannya untuk membela kebenaran yang diperjuangkan ayah dan suaminya. Heroismenya tercermin pada keterlibatannya di beberapa perang besar; perang Uhud dan perang Badar. Kefasihan dan keberanian Fatimah, juga terbaca jelas saat menuntut hak dirinya atas tanah Fadak (sebidang tanah yang dihadiahkan ayahnya untuknya dan dirampas oleh orang lain). Terakhir, bahwa Fatimah adalah Sang Abidah (ahli ibadah) yang menjadikan doa sebagai media mengajarkan ajaran Islam kepada pendengarnya, media bersedekah secara ruhania, dan media perjamuan abadi dengan Tuhannya.
Yah, menyelami sosok ini memang tidak pernah selesai. Akan selalu mengalir dan tidak akan ditemui kemana muaranya. Syariati pun mengakui itu dalam sebuah ungkapannya;

Saya akan bangga dan hendak mengatakan, “Fathimah as adalah putri Khadijah yang besar”.
Saya rasa itu bukan fathimah as.
Saya hendak mengatakan, “ Fathimah as adalah putri Muhammad saw”.
Saya rasa itu juga bukan fathimah as.
Saya hendak mengatakan, “Fathimah as adalah istri Ali as”.
Saya rasa itu juga bukan fathimah as.
Kemudian saya hendak mengatakan, “Fathimah as adalah ibu dari Hasan dan Husein.”
Itu juga bukan Fathimah as.
Saya hendak katakan, “Fathimah as adalah ibu Zainab”.
Saya masih merasa itu bukan Fathimah as.
Tidak, semua itu benar tetapi tak satu pun yang menggambarkan Fathimah as yang sesungguhnya.
Fathimah as adalah Fathimah as.

Beginilah sederhananya Syariati memandang perempuan. Fatimahlah inspirasinya. Darinya dia menggambarkan bahwa perempuan ideal adalah mareka yang berlimpahan kasih sayang dan membagi keberlimpahan itu pada sesamanya secara santun. Mereka yang rela meneggelamkan dirinya dalam kesederhanaan hidup. Mereka yang tak gentar berkata tidak pada kedzaliman dengan keberanian dan pengetahuannya. Dan mereka yang tidak memikirkan kebahagiaan dunia semata, melainkan menyelaraskan dengan akhiratnya. Dia juga berusaha menghapus streotipe dalam memandang perempuan sebagai manusia kelas kedua, dengan mengangkat cerita tentang seringnya Muhammad saw menciumi tangan purtinya, Fatimah Az Zahra meski berpeluh keringat. Rasulullah mengangungkan Fatimah, Rasulullah mencintai dan memuliakan perempuan.


Makassar, 6 Mei 2012 (00.05-03.00)
 Kupersiapkan sebagai bahan diskusi KOSKAR di Benteng Somba Opu, Ahad 6 Maret 2012 pukul 12.30-15.30 wita.

2 komentar:

  1. Ya,,Ali Syariati mengajak kita untuk tdk sekedar menajdi opium bagi masyarakat..tulisan ini inspiratif,,tulisan anda di buku Jejaj Dunia yang Retak juga bagus,,

    BalasHapus

silahkan kritik apa saja yang anda lihat, rasa, dan pikirkan