“Sebuah film inspiratif untuk keluarga yang menunjukkan betapa cinta bisa mengubah semua orang, bahwa pada akhirnya kebaikan akan berjaya, dan bahwa beragama bukan hanya persoalan kesalehan individual, melainkan juga persoalan kesalehan sosial. Berkisah tentang bagaimana seorang anak jalanan mengubah hidup tiga orang dewasa untuk menjadi lebih baik.” (kutipan dari cover film Rindu purnama)
Kisah ini berawal saat, Purnama anak jalanan yang tinggal dirumah singgah. ia terkena amnesia akibat tertabrak mobil Pak Surya, seorang pengusaha yang gila kerja dan masih hidup sendiri. Purnama pun ditolong oleh pak Pur, sopir pribadi pak Surya. Ditengah kesibukannya menjalankan proyek baru bersama Monik (30 tahun), anak Pak Roy (65 tahun), pemilik perusahaan property dimana Pak Surya bekerja, Pak Surya ingin segera menyembuhkan Purnama agar cepat pergi dari Rumahnya
Namun Purnama menghilang, hal ini membuat penyesalan yang mendalam bagi Pak Surya. Pertemuan singkat dengan Purnama ternyata memberikan kenangan yang mendalam. Akhirnya Pak Surya intensif mencari Purnama. Di tempat lain, Sarah dan anak-anak rumah singgah pun mencari Rindu Purnama. Sampai suatu ketika, Pak Surya bertemu Sarah. Mereka pun akhirnya mencari bersama. Hingga Rindu Purnama sendirilah yang kembali ke rumah Singgah. Kedekatan Pak Surya dan Sarah membuat Monik cemburu. Alhasil proyek properti yang tengah dijalankan bersama Pak Surya, dikembangkan arealnya hingga harus menggusur rumah singgah. Begitu gundah suasana batin Pak Surya karena harus memilih Rindu Purnama, anak jalanan dan rumah singgah yang nasibnya akan digusur. Di sisi lain, ada keuntungan besar yang akan diraih, karier yang melesat, dan Monik yang mencintainya. Pak Surya harus segera menetapkan hatinya, kemana harus berlabuh.
Secara singkat, alur cerita dalam film ini sangat menyentuh kehidupan pinggiran kota-kota besar, semisal Jakarta. Dan sangat banyak gambaran kehidupan anak jalanan serta penduduk yang bermukim di rumah-rumah kumuh yang dapat menjadi inspirasi dalam kehidupan kita. Termasuk intrik dan riak-riak yang diselami dalam kehidupannya yang rentan dengan tindakan kekerasan dan dan aksi penggusuran yang seringkali kita saksikan karena dianggap mengganggu keindahan kota. Dari gambaran ceritanya, jelas bahwa film ini berusaha menampilkan benturan dua kelompok dalam masyarakat yang kerap kali terjadi, yaitu kelompok anak jalanan (mewakili kelas proletar) dan kelompok pengusaha (mewakili kelas borjuis).
Sebagai sutradara dalam film ini, Mathias Muchus berhasil mengangkat ceritanya secara realistik. Jika dibandingkan dengan beberapa film skala nasional yang beredar di dunia perfilman, maka film ini mampu menyadarkan masyarakat yang menontonnya tentang sisi lain dari kehidupan kota yang sering kali terabaikan. Film ini juga menurut penulis, mampu mengalihkan perhatian penikmat film Indonesia, yang terlanjur terhipnotis kesadarannya terhadap film-film yang berbau mistik dan dibumbuhi aroma seks sebagaimana dewasa ini.
Meskipun demikian, menurut penulis film ini tetap memiliki kekurangan dari sisi alur cerita yang berubah drastis dari realisme sosial ke kisah romantisme sebagaimana yang ditampilkan lewat kisah cinta segitiga Ibu Sarah (Ririn Ekawati), Surya (Tengku Firmansyah), dan Monik (Titi Sjuman). Niat Surya untuk menyelamatkan rumah singgah ( tempat Rindu dan kawan-kawannya beraktivitas) dari penggusuran perusahaan tempat Surya bekerja yang dimotori oleh Monik bukan didasari karena niat “kemanusiaan” melainkan karena cintanya pada Ibu Sarah.
Terlepas dari segala kekurangannya, film ini memberikan sumbangsih yang besar terhadap pentingnya pendidikan bagi semua anak-anak Indonesia tanpa memandang kelas sosial. Dan yang lebih penting lagi, anak-anak jalanan bukanlah kumunitas yang harus dijahui dan senantiasa “diperlakukan” kasar serta menjadi sampah masyarakat sebagaimana realitas yang sering kita lihat. Mathias Muchus, berhasil membuka mata kita tentang anak-anak “pinggiran” yang memiliki potensi sama dan kreativitas yang sama dengan yang lain. Memberi perhatian bagi mereka, adalah kewajiban negara dan masyarakat lainnya yang terbuka mata-hatinya. Dan semoha dilain waktu, Mizan sebagai produsen film Rindu Purnama, mampu tetap konsisten menghadirkan film-film terbaiknya untuk masyarakat Indonesia. Terakhir, sebagai bahan renungan, kisah yang ditampilkan dalam film ini mengingatkan saya pada sebuah karya sastrawan yang beraliran realisme sosial, Wiji Thukul yang berjudul Nyanyian Akar Rumput.
jalan raya dilebarkan
kami terusir
mendirikan kampong
digusur
kami pindah-pindah
menempel di tembok-tembok
dicabut
terbuang
kami rumput
butuh tanah
dengar!
Ayo gabung ke kami
Biar jadi mimpi buruk presiden!
(Wiji Thukul, Nyayian Akar Rumput- juli 1988 -)
Created by: Muchniart Az
Kisah ini berawal saat, Purnama anak jalanan yang tinggal dirumah singgah. ia terkena amnesia akibat tertabrak mobil Pak Surya, seorang pengusaha yang gila kerja dan masih hidup sendiri. Purnama pun ditolong oleh pak Pur, sopir pribadi pak Surya. Ditengah kesibukannya menjalankan proyek baru bersama Monik (30 tahun), anak Pak Roy (65 tahun), pemilik perusahaan property dimana Pak Surya bekerja, Pak Surya ingin segera menyembuhkan Purnama agar cepat pergi dari Rumahnya
Namun Purnama menghilang, hal ini membuat penyesalan yang mendalam bagi Pak Surya. Pertemuan singkat dengan Purnama ternyata memberikan kenangan yang mendalam. Akhirnya Pak Surya intensif mencari Purnama. Di tempat lain, Sarah dan anak-anak rumah singgah pun mencari Rindu Purnama. Sampai suatu ketika, Pak Surya bertemu Sarah. Mereka pun akhirnya mencari bersama. Hingga Rindu Purnama sendirilah yang kembali ke rumah Singgah. Kedekatan Pak Surya dan Sarah membuat Monik cemburu. Alhasil proyek properti yang tengah dijalankan bersama Pak Surya, dikembangkan arealnya hingga harus menggusur rumah singgah. Begitu gundah suasana batin Pak Surya karena harus memilih Rindu Purnama, anak jalanan dan rumah singgah yang nasibnya akan digusur. Di sisi lain, ada keuntungan besar yang akan diraih, karier yang melesat, dan Monik yang mencintainya. Pak Surya harus segera menetapkan hatinya, kemana harus berlabuh.
Secara singkat, alur cerita dalam film ini sangat menyentuh kehidupan pinggiran kota-kota besar, semisal Jakarta. Dan sangat banyak gambaran kehidupan anak jalanan serta penduduk yang bermukim di rumah-rumah kumuh yang dapat menjadi inspirasi dalam kehidupan kita. Termasuk intrik dan riak-riak yang diselami dalam kehidupannya yang rentan dengan tindakan kekerasan dan dan aksi penggusuran yang seringkali kita saksikan karena dianggap mengganggu keindahan kota. Dari gambaran ceritanya, jelas bahwa film ini berusaha menampilkan benturan dua kelompok dalam masyarakat yang kerap kali terjadi, yaitu kelompok anak jalanan (mewakili kelas proletar) dan kelompok pengusaha (mewakili kelas borjuis).
Sebagai sutradara dalam film ini, Mathias Muchus berhasil mengangkat ceritanya secara realistik. Jika dibandingkan dengan beberapa film skala nasional yang beredar di dunia perfilman, maka film ini mampu menyadarkan masyarakat yang menontonnya tentang sisi lain dari kehidupan kota yang sering kali terabaikan. Film ini juga menurut penulis, mampu mengalihkan perhatian penikmat film Indonesia, yang terlanjur terhipnotis kesadarannya terhadap film-film yang berbau mistik dan dibumbuhi aroma seks sebagaimana dewasa ini.
Meskipun demikian, menurut penulis film ini tetap memiliki kekurangan dari sisi alur cerita yang berubah drastis dari realisme sosial ke kisah romantisme sebagaimana yang ditampilkan lewat kisah cinta segitiga Ibu Sarah (Ririn Ekawati), Surya (Tengku Firmansyah), dan Monik (Titi Sjuman). Niat Surya untuk menyelamatkan rumah singgah ( tempat Rindu dan kawan-kawannya beraktivitas) dari penggusuran perusahaan tempat Surya bekerja yang dimotori oleh Monik bukan didasari karena niat “kemanusiaan” melainkan karena cintanya pada Ibu Sarah.
Terlepas dari segala kekurangannya, film ini memberikan sumbangsih yang besar terhadap pentingnya pendidikan bagi semua anak-anak Indonesia tanpa memandang kelas sosial. Dan yang lebih penting lagi, anak-anak jalanan bukanlah kumunitas yang harus dijahui dan senantiasa “diperlakukan” kasar serta menjadi sampah masyarakat sebagaimana realitas yang sering kita lihat. Mathias Muchus, berhasil membuka mata kita tentang anak-anak “pinggiran” yang memiliki potensi sama dan kreativitas yang sama dengan yang lain. Memberi perhatian bagi mereka, adalah kewajiban negara dan masyarakat lainnya yang terbuka mata-hatinya. Dan semoha dilain waktu, Mizan sebagai produsen film Rindu Purnama, mampu tetap konsisten menghadirkan film-film terbaiknya untuk masyarakat Indonesia. Terakhir, sebagai bahan renungan, kisah yang ditampilkan dalam film ini mengingatkan saya pada sebuah karya sastrawan yang beraliran realisme sosial, Wiji Thukul yang berjudul Nyanyian Akar Rumput.
jalan raya dilebarkan
kami terusir
mendirikan kampong
digusur
kami pindah-pindah
menempel di tembok-tembok
dicabut
terbuang
kami rumput
butuh tanah
dengar!
Ayo gabung ke kami
Biar jadi mimpi buruk presiden!
(Wiji Thukul, Nyayian Akar Rumput- juli 1988 -)
Created by: Muchniart Az