Sabtu, 07 November 2009

Lika Liku Luka

Lika-liku luka, terdampar pada pinggiran selokan
Membentur sebuah orok, teronggok dikerumuni lalat

Lika-liku luka, menempel pada dinding warung remang-remang
Mengintip seorang perempuan membiarkan selangkangannya dipenuhi noda
Dan tubuh bermandi cemooh
Agar periuk tak sekering kemarin

Lika-liku luka, mengetuk pintu rumah semi permanen
Menyusun tumpukan barang bekas yang menimbuni mimpi seorang bocah
Bermain mobil-mobilan di taman bermain sambil berkeliling di pusat perbelanjaan

Lika-liku luka, terjepit di antara bata merah
Merekam biografi buruh bangunan
Mencandai matahari dengan tubuh dekil
Menyusun mimpi di atas pasir, memiliki rumah layaknya Si Tuan

Lika-liku luka, mendentingkan terali-terali buih
Membuka memoar Si Pencuri ayam jantan
Separuh wajah memar diamuk massa, meratapi nasib menjadi Wong cilik

Lika-liku luka, berdiri mematung di depan pagar besi
Menatap laras panjang, penjaga bangunan megah bercat putih
Tempat penawar luka diramu dalam bejana berlubang

Makassar, 27 Oktober 2009

Amarah Mayapada

Garang surya menikam ubun-ubun
Mengecam tawa pemilik ladang beton yang menjadikannya rapuh
Merobek pesona wajah pesolek yang tak henti mengutuk datangnya
Kornea mengering, mata tak mampu lagi menyaksikan hijaunya perbukitan

Tak ada setitik oase menyisa
Untuk sekedar melepas dahaga pengembara
Semua tertelan mayapada
Menjelma seonggok batu membara
Sebagai saksi ketamakan anak-anak Adam

Makassar, 01 November 2009

Revolusi Sebutir Debu

Beruntunglah engkau dicipta dalam gejolak
Disaat api tak hanya membara dalam sekam
Pecahan beling, tak hanya menusuk satu orang
Beruntunglah engkau

Dapat merasakan indahnya sebuah fitnah
Saat kebenaran menjahui logika

Sugesti menjelma belati, yang siap menerjang dadamu

Beruntunglah engkau masih tegar oleh sebuah senyum
Saat orang-orang di sekelilingmu
Bermain dadu dan kartu ramalan
Menaruh idealisme di telapak kaki
Ambisi di atas kepala
Saat berontak berbalas jeruji
Beruntunglah, engkau masih teriak "tidak", di antara letupan senjata
sederetan manusia berseragam

Meski revolusi sudah tak bermakna
Tak lebih dari tarian anarkis dan nyanyian antagonis
Setidaknya kita pernah duduk bersama bercerita tentang revolusi
Saat pandanganmu menangkap butir-butir debu
Yang menempel pada sederetan meja
Tempat pendahulu kita bercengkrama
Yang konon kabarnya mencetuskan misi revolusi

Beruntunglah revolusi diterjang badai
Menyisakan butir-butir debu di pundakmu
Setidaknya aku masih bisa
Menghapusnya dengan telapak tanganku tanpa kau minta
Karena aku begitu mencintaimu
Sebagai pemimpin revolusiku

Engkau menamainya revolusi sebutir debu
Yang kau cipta dari bentukan telapak tangan
Saat engkau mengetukkannya
Karena resah dihantam realitas
Ini adalah revolusi sebutir debu
Revolusi yang tak butuh rupiah
Tak butuh pengakuan dan retorika
Hanya ingin kumpulan titik-titik debu menjelma sahara

Makassar, Agustus 2007

Parade Topeng

Dunia sedang ditata
Menaruh lampu binar di panggung sandiwara
Mengembangkan tirai-tirai hitam
Tempat kelam berselimut senyum
Setiap pemain berias putih
Wajah tak lagi semerona purnama
Bisikan nurani terkubur ambisi
Mereka mengejar bintang
Tanpa peduli hati yang lain

Aku dipinjami topeng Enstein
Dia diberi topeng Darwin
Mereka memakai wajah Da Vinci
Sebagian meminjam muka Shakespiere
Di sana beribu rupa Karl Marx
Di sini bertabur kebengisan wajah Hitler
Di jantung kota keangkuhan Firaun merajai
Di sisi-sisi jalan tawa Mbah Surip mewarnai
Sedikit kulihat intelek Ali Syariati
Manusia bermain peran dengan seribu wajah
Lantas di manakah wajahku, wajahmu, dan wajah kita?

Makassar, 22 Juli 2009

Marhaban Yaa Ramadhan

Sya'ban menggantung di sudut cakrawala
Mega bersenandung menanti ramadhan
Marhaban ya ramadhan
Wajah gundah tenggelam dalam lantunan doa-doa suci
Yang melafazkan keagungan-Nya
Bersama ramadhan
Tak ada lisan yang kering
Tak ada kata yang latah
Tak ada tindak tanpa makna
Semua harap berujung ijabah
Karena ramadhan berselimut rahmat-Nya

Marhaban ya ramadhan
Bukan syair belenggu nafsu
Bukan irama mencari perhatian
Bukan cerita keangkuhan
Diri-diri yang bernaung di kubah masjid
Tanpa perduli jeritan sesama

Marhaban ya ramadhan
Menantimu
Laksana menyusun harapan
Pada kedalaman rindu

Makassar, 12 Agustus 2009

Bingkisan Kemerdekaan

Menyapa pagi
Merah putih menghiasi jalan
Seorang bapak tua berbaju kumal
Mengayuh sepeda melintasi jalan berdebu
Berteman sekeranjang ikan dan bau amis
Di pundaknya tertumpuk harapan
Pada serpihan-serpihan rupiah
Untuk makan anak dan istri

Menyapa siang
Merah putih menghiasi jalan
Di perempatan, segerombol anak kecil
Berbaris memenuhi trotoar menjajakkan koran
Sebagian meyuguhkan kaleng tua
Bekas susu bayi Si pemilik rumah megah di samping gubuknya
Mengharap kumpulan logam
Menyambung nyawa sehari

Menyapa senja
Merah putih menghiasi jalan
Sepasang muda-mudi bercengkrama
Dengan busana seadanya, saling merangkul mencandai kepulan asap kretek
Menguntai belati yang akan menusuk paru-parunya
Berteman sebotol anggur, menyusun impian di negeri khayalan

Menyapa malam
Merah putih menghiasi jalan
Temaram cahaya melukiskan bayang-bayang kemerdekaan
Kupu-kupu membentangkan sayap
Bertebaran membagi senyum
Mengetuk kaca mobil-mobil mewah
Menyenangkan si pemburu nafsu

Di pagi, esok
Merah putih menghiasi jalan
Seyum mentari menyambut hari lahir negeriku
17 Agustus 2009, negeriku menjemput usia 64 tahun
Bingkisan apa yang akan kuberi untuknya?
Apakah sepeda si bapak tua?
Atau kaleng susu si pengemis kecil?
Pantaskah kuberi sekotak kretek?
atau senyum kupu-kupu malam?
Atau kuberi saja sebuah pena
Untuk ia menulis
Apa hakekat kemerdekaan?

Makassar, 16 Agustus 2009

Opera Kupu-Kupu

Selaksa gurat duka
Sejumput gurat dendam
Merangkai sepasang sayap pelangi
Menyilaukan keangkuhan dogma
Yang dipertuhankan perawan suci

Kala senja bertabir gelap
Binar langkah menyapu malam
Istana beton menanti
Siul binal bertalu
Merah cahaya menerbangkan kupu-kupu
Melakonkan skenario yang ditulis untuknya

Opera telah digelar
Topeng-topeng meruah di sisi jalan
Siluet penari meliuk-liuk
Panggung hitam dilumuri penggoda
Tak ada yang tahu, dimana akhirnya
Mungkin pagi, saat malam enggan sendiri
Mungkin senja, kala pagi lelah mencumbui matahari
Atau mungkin…….
Saat kupu-kupu kehilangan sayap

Makassar, 20 Mei 2009

Titip Rindu Untuk Ibu

Titip Rindu Buat Ibu

Siluet ketuaan berbaris pada sebuah wajah
Senyum bahasa lelah
Menghadirkan ilustrasi
Sekeping hati pudar
Rangka-rangka yang rapuh
Berusaha menegakkan gumpalan
Daging yang tersisa oleh kejamnya realita

Kau sambut kemanjaanku
Dengan keteduhan sebuah tatapan
Kau rangkul egoku
Dengan lafaz kelembutan
Berbagi ceria terpaksa terlukis
Demi ketabahan sang permata hati

Lambaian tangan sang mentari
Dalam laju waktu
Tak selangkah menggerakkan hati
menoleh pada cahaya lain
Engkau tenggelamkan dirimu
Dalam lautan Cinta hakiki
Engkau leburkan hatimu
Ditengah ratapan sapaan malam
Menanti secercah asa
Bersama hamparan
Permata berbisik

Istikhfar

Istikhfar

Kuraih sajaha kumal
Dan sebongkah tanah sujudku
Lantas kurebahkan diriku
Ditelapak Tuhan
pada sepertiga malam

Kini mulai tampak sebingkai
Dosa yang menghitam
Dan sayatan ego
Yang berdarah

Kuhempaskan keangkuahanku
Pada teriakan hewan malam
Dan kucoba berkaca
Pada cermin yang retak
Namun semua tampak gelap
Tak menyisakan setitik pun banyang

Sejauh apakah kesesatan langkah
Sehingga cermin pun enggan
Menjemput banyang
Padahal kutahu
Engkau maha pemaaf
Jika hari ini kuucap Istikhfar

Bisikan Debur Ombak

Bisikan debur ombak
menutup dalam kesunyian
Cinta dalam jiwa
melangkah jauh bersama angan-angan

Kaukah malam???
tatkala angin seperti mati
Dikaukah rembulan???
menatap hati semakin sepi

Nyanyian cinta bukanlah gubahan sesaat
Walau esok langit jatuh dalam pekat
Teguhkan dinding hatimu menuju hatiku
Satukan mimpi di dalam jiwa kita

Narasi Gundah Seorang Pencinta

jika yang terbaik
adalah tidak mengenalnya
mungkin itulah yang kulakukan!!!

jika menyayanginya
adalah sebuah kesalahan
kutakkan pernah izinkan hatiku untuk itu!!!

jika mempercayainya
adalah sebuah kebodohan
ku tak ingin lagi meletakkan tanganku dipundaknya
dan berjalan bergandengan

meski kuingin kasihnya
terus bersamaku!!!tapi itu mustahil
karena kutahu itu dia t’lah jauh

aku hanya mampu berjalan
untuk menghindar darinya
karena kutak ingin menyaksikan
cerita lain hadir dipancaran wajahnya!!!

KEPADA RINDU

Kepadamu
Yang merajai malam dengan tinta jiwa, dan mengusik khayalku diantara barisan peristiwa yang memburu waktu
Kepadamu
Yang jauh, hidup, merasa ada dan menemaniku ada
Sepertinya hari ini, jiwaku masih mengerti
engkaulah sahabat para cinta dan kekasih setiap rindu
rangkaian senyum penyirna kegelapan

Kepadamu
Waktu kuhantarkan seperti nyanyian semesta
Yang mendahuluiku mengenal peluk dekapmu
Hanya penggal doa dalam jemari ;
di fajar jiwamu
ketika malam kulewati dan kita terikat dalam mimpi yang membaluti
milikmulah pagi, bagimulah matahari, engkaulah bebungaan yang bersemi
bagi segala musim

Kepadamu
Hanyalah cinta
Engkaulah cinta
Datanglah mengusir sunyi, dan meninggalkan jejakmu di sepanjang bumi, dan
biarkanlah esok aku mengejarmu, dan mereka akan mengenali semua karya suci
dari tanganmu

Kepadamu
Kata adalah rindu, dan cinta selalu mengajak jiwa berdamai dalam harapan, masih adakah yang lebih baik daripada itu
Dan, akupun datang perlahan. Kemarin dan esok.
Lalu, aku menyapa. Kita. Hidup. Marilah mencintai kehadiran. Jiwa adalah
keabadian

Kepadamu
Tetap rindu. Semua satu
Jalan
Arah
Tujuan
Engkaupun telah berada untuk itu.
Selalu. Datanglah
Pergilah tetap bersama kebahagiaan yang banyak bercerita kepada sanubari dan mimpi-mimpi.

Selasa, 03 November 2009

Rumah Panggung


Pukul 21.00 WITA, kutelusuri sebuah gang kecil menuju pondokanku yang baru. Sudah hampir seminggu aku mendiami pondokan itu. Penghuninya kebanyakan mahasiswa sekaligus pekerja seperti aku. Hampir seminggu pula aku melintasi gang ini, dan keterasingan yang kurasa belum juga sirna. Aku juga tak tahu mengapa lingkungan yang baru ini terkesan sangat tak bersahabat. Padahal sudah kucoba menjalin keakraban dengan beberapa tetangga terdekatku. Bahkan saat aku pulang dari kampung tak lupa kubagikan oleh-oleh buat mereka. Tetapi hingga detik ini kurasa itu sia-sia. Setiap malam yang dapat aku saksikan saat aku pulang kerja adalah pemandangan yang sama. Yaitu sekelompok pemuda sedang asyik bercanda disertai dengan beberapa botol minuman beralkohol. Jika pagi telah tiba alunan musik dangdut yang saling bertalu terdengar begitu keras dari sound system penghuni rumah semi permanen yang memadati sepanjang gang. Aku seringkali berpikir, mungkin suatu saat kawasan ini akan tergusur juga sebagaimana yang sering aku saksikan di layar TV. Tetapi untuk saat ini aku berdoa semoga hal itu tidak terjadi, karena bagiku inilah satu-satunya tempat yang strategis untuk menghemat dana transpor antara rumah, kampus dan tempatku bekerja. Bersyukurlah semuanya bisa kujangkau dengan jalan kaki. Pernah suatu ketika, ada seorang teman yang menawarkanku untuk pindah ketempat kostannya yang terletak pada salah satu kawasan real estate. Namun aku tetap memilih di sini karena aku ke kota metropolitan bukan untuk rekreasi tetapi kuliah!!! Orang tuaku di kampung yang hanya menggantungkan hidupnya pada sepetak sawah pasti tidak akan sanggup mendanai keperluan yang terkesan bermewah-mewah, jika aku memilih itu. Cukuplah aku bisa dikuliahkan dan urusan hura-hura sebaiknya dilupakan dulu.

Kost-kostan yang kuhuni terdiri dari beberapa kamar yang saling berhadapan atau lebih dikenal dengan istilah pondokan. Ia berada di sudut gang dan diapit oleh rumah-rumah kost yang lain beserta rumah penduduk setempat. Di depan pondokanku berdiri sebuah rumah panggung yang terbuat dari kayu jati. Rumah panggung tersebut terkesan sunyi dan tidak terawat. Satu hal yang masih menjadi tanda tanya dibenakku, adalah mitos rumah panggung yang menjadi buah bibir penduduk setempat. Rumah itu terlihat jelas dari jendela kamarku, sehingga setiap kali aku membuka tirai jendela, pemandangan pertama yang membentur mataku adalah rumah panggung tersebut. Beberapa kali sesama penghuni pondokan memperingatkanku agar berhati-hati dengan rumah panggung tersebut, namun aku tak memberikan tanggapan apa-apa karena menurutku rumah itu tampak biasa saja. Tak ada kesan menakutkan apalagi harus kujahui. Kalau sudah begini aku lebih memilih diam, dan selanjutnya kukubur semua cerita diantara heningnya malam yang sesekali diriuhkan oleh petikan gitar pemuda-pemuda yang ingin menghabiskan malamnya di pinggiran jalan.

***

Tak terasa malam menemaniku begitu lama. Pukul tiga dini hari aku masih tetap terjaga. Mungkin ini adalah pengaruh secangkir kopi yang kuteguk semalam, disaat mataku mulai meredup.
“Aku harus tetap terbangun karena tugas kuliahku belum selesai.” Bentakku dalam hati sebagai motivasi diri.
Saat adzan subuh berkumandang, kugeser tirai jendela kamarku untuk menjemput cahaya benang putih di cakrawala. Namun lagi-lagi pandanganku berpendar pada rumah panggung itu. Dan sebagaimana biasanya kesan yang dapat kutangkap, rumah itu tampak sunyi dan gelap gulita. Kupalingkan pandanganku ke arah yang lain, dan tiba-tiba saja sekelebat cahaya lampu pijar menerangi sisi belakang rumah itu dan selanjutnya cahaya itu padam.
Mungkinkah rumah itu berpenghuni? Atau jangan-jangan ada yang ingin merampok isi rumah itu? Pikirku.
Seketika pikiranku tentang apa yang kusaksikan tadi menjadi buyar oleh kehadiran Pak Darmo, pemilik pondokan yang kuhuni.
“Assalamu’alaikum,” ucapnya.
“Wa’alaikum salam,” jawabku sambil melangkah ke arah sumber suara.
“Bagaimana kabarmu, Nak? Apa kamu betah tinggal di tempat ini?”
Aku tersenyum karena kukira dia akan mengajakku shalat subuh berjama’ah, tetapi ternyata shalat subuh telah usai dia laksanakan. Aku baru tersadar bahwa sedari tadi waktuku banyak tersita oleh peristiwa rumah panggung itu sampai-sampai adzan subuh tak sempat kudengar.
“Kamu baik- baik saja?” lanjutnya, sambil menatap aneh ke arahku.
“Iy… iya, Pak!” jawabku dengan nada terbata.
“Kalau begitu bapak pamit dulu. Oh yah, pukul delapan nanti penduduk akan mengadakan kerja bakti untuk membersihkan selokan, dan tumpukan sampah di pojok sana.” Ucap Pak Darmo, sambil menunjuk tumpukan sampah yang berada di ujung lorong. Setelah itu dia bergegas pergi.
Kuhirup udara pagi dalam-dalam, dan segera menghampiri keran air di belakang pondokanku untuk berwudhu sebelum waktu subuh benar-benar berlalu.

***
“Kak, jangan dekat-dekat rumah itu,” ucap seorang anak kecil saat kakiku telah berpijak di bawah kolong rumah panggung tersebut.
Aku terdiam sejenak.
“Hei… sobat!!! Sebaiknya kamu istirahat saja.” Teriak penduduk yang lain.
Kucoba memalingkan wajah, untuk menghindari bau tak sedap dari aroma air selokan dan kuperhatikan disekelilingku. Ternyata semuanya sudah bersih, kecuali halaman rumah panggung ini. Satu persatu penduduk memasuki atapnya masing-masing. Sementara sebagaian yang lain mulai menjalankan aktivitas rutinnya, menggayuh becak dan menjajakkan kue-kue kecil, sebagian berdagang sayuran keliling. Dengan agak berat, kulangkahkan kakiku untuk kembali ke pondokanku juga, istirahat dan bersiap-siap ke toko MEBEL ABADI tempatku bekerja part time.

***
Hari ini aku harus kerja lembur. Ada pasokan barang yang baru tiba malam tadi. Aku sangat lelah, langkahku kubiarkan lambat dan sesekali mataku menoleh pada sekelompok pemuda yang lagi-lagi dimabukkan oleh alkohol. Aku berusaha untuk tidak memperdulikan mereka, karena mereka sudah terbiasa dengan kondisi demikian. Dapat aku rasa, malam ini ternyata udara begitu dingin dan memaksa aku untuk menyalakan sebatang rokok agar dapat menghela kebekuan malam. Aku terus berjalan, sesekali kuperhatikan kepulan asap rokokku yang membentuk lingkaran asap. Tanpa kusadari ternyata aku sudah berada tidak jauh dari rumah panggung itu. Ini berarti sebentar lagi pondokanku akan kucapai. Kupercepat langkahku agar dapat cepat sampai, tetapi tiba-tiba langkahku terhenti saat kusaksikan lagi temaran cahaya lampu pijar di rumah panggung itu. Aku menghentikan langkah dan kulirik Seiko di pergelangan tanganku. PUKUL 01.00 DINI HARI!!!!
“Siapa sebenarnya yang menyalakan lampu pijar itu? Bukankan rumah ini tak berpenghuni!” ucapku setengah berbisik.
Entah kekuatan apa yang menstimulus keberanianku, sehingga tanpa sadar aku telah berdiri di atas beranda rumah panggung itu. Kubuka perlahan-lahan daun pintunya. Dengan dada berdebar kulangkahkan kakiku ke dalam. Aku terkejut saat sebatang korek api kunyalakan, kudapati beberapa helai kain putih menutupi perabot-perabot yang ada di dalamnya. Dan yang paling membuat aku terkejut, ketika kulangkahkan kakiku menuju cahaya lampu pijar yang kulihat tadi, kudapati beberapa macam makanan untuk sesajen yang dihiasi dengan beberapa batang lilin berwarna merah. Sesaat tenggorokanku terasa sesak oleh kepulan asap dupa yang terperangkap dalam ruangan itu.
“Astaqfirullah….. ternyata di kota metropolitan ini, masih ada juga yang menggantungkan nasibnya pada senampan sesajen. Begitu sulitkan kondisi negara ini sehingga usaha dan doa kepada-Nya terlupakan?”

Bersahabat Dengan Cinta




love is short
forgetting is long
and understanding is longer still

Cinta memang sulit untuk dipahami, anehnya kenapa bisa begitu banyak yang terinspirasi dari kata CINTA tanpa mau tahu apa defenisi CINTA. namun semakin orang memenjarakan CINTA dalam sangkar defenisi, maka semakin pula bertambah kebingungannya tentang apa sebenarnya CINTA itu.

Terkadang kita merasa telah mencintai sesuatu dan berhasrat memilikinya. Padahal, lama-kelamaan waktu akhirnya menjelaskan bahwa itu sebenarnya bukan CINTA, melainkan hanyalah sebuah keserakahan nafsu manusia yang coba mengatasnamakan CINTA. Terkadang pula kita merasa sangat benci pada sesuatu itu, bahkan kita berusaha menjahuinya. Tetapi lambat laun ketika ia benar-benar pergi menjahui kita. Hadirlah rasa kehilangan, rindu dan berbagai hal yang membuat hati kita ingin sekali memanggilnya kembali, dan.... mereka menyebut itu CINTA.

Cinta itu aneh ya…..? tetapi dibalik keanehannya, terpendam berjuta keindahan bagi manusia yang benar-benar memposisikan CINTA sebagai sahabat hidupnya. Mungkin ada benarnya bahwa CINTA itu bukan untuk dimiliki. Dia hanya bertugas untuk menemani kita dan menjadikannya tempat berkeluh kesah, sebab istana yang paling CINTA sukai adalah hati. Dan inilah organ yang paling sensitif dan melankolik yang dimiliki manusia yang seringkali menantikan penyejuk yang bernama CINTA. Dan kesejukan itu tidak akan mungkin hadir jika CINTA, kita tempatkan pada kotak kaca dan berusaha kita miliki sendiri! Mengapa? Karena CINTA tak suka pada istana hati yang egois.

Coba saja engkau paksakan CINTA jadi milikmu sendiri! Pasti engkau akan merasakan sakit yang luaar biasa. Tak jarang loh! Sumpah serapah ditujukan pada CINTA, tetapi tak jarang pula banyak orang memuja CINTA, sekali lagi mengapa? Manusia marah pada CINTA karena mereka kecewa dan sakit hati sebab CINTA yang ia puja, juga ada pada manusia yang lain. Mereka enggan berbagi, padahal CINTA itu dapat hadir dan ditemukan kapan dan dimana saja. Wajarkan? Jika setiap manusia berhak bersahabat dengan CINTA, dan mereka memuja CINTA karena dengan berkenalan dengannya sebagian manusia belajar untuk hidup bersama. CINTA mengajarkan mereka makna ketulusan dan CINTA pulalah yang mengajak mereka untuk meleburkan ego individu menjadi ego semesta. Jika sudah begini CINTA akan tersenyum, karena dia berada pada istana hati manusia yang mengerti akan dirinya. Kerinduan serta kedamaian akan benar-benar terwujud karena CINTA berada diantara mereka. Sehingga prasangka, sekat-sekat hati dan kecemburuan akan terbang bersama angin keangkuhan. Cinta itu indahkan…? So… jadikanlah CINTA sebagai sahabat hatimu.

(Art 02/ pondok biru(kamis,26 okto’06 pukul 23;05))

Belajar Dari Cerita Pohon

"Hati adalah rahasia keindahan manusia karena di dalamnya ada keberkahan, ada perhiasan dan ada ketenangan bagi jiwa. keberkahan tumbuh dari akhlak yang mulia. perhiasan muncul dari pemikiran yang cantik sedang ketenangan muncul dari kepercayaan dan keyakinan. Dan tidak ada kecantikan bagi jiwa manusia, kecuali akhlak, pemikiran, dan keutamaan kepercayaan." (Musthafa Shadiq Ar-Rafi'ie)

Pohon selalu punya dua cerita
yaitu cerita daun dan cerita kulit
coba kamu perhatikan, daunan senantiasa melakonkan ritme kehidupan dimana setiap hari puluhan dari mereka akan gugur dan berganti tunas baru. Demikian halnya dengan cerita tentang kulit.

Awal kehadirannya, dia begitu halus, lunak dan segar. tetapi lama-kelamaan usia mengantarkannya pada batas, dimana dia harus berhenti berkembang dan akhirnya mengelupas dari pohonnya. Jika daun dan kulit sudah masanya pergi! Maka apalagi yang tersisa dari cerita sebuah pohon, selain asap bekas bakarannya atau kenangan akan sebuah pohon yang memberikan buah yang manis bagi para musafir. Tetapi bisa juga menyisakan kekesalan bagi pemiliknya, karena ternyata pohon tersebut menyembunyikan banyak benalu. meski sepintas, terlihat rindang dan hijau namun membinasakan pohon-pohon yang tumbuh disekitarnya. Dalam posisi yang demikian, cerita sebuah pohon akan menjadi kosong, padahal semestinya kepergiannya menyisakan romansa indah.

Lantas bagaimana dengan manusia? kayaknya cerita pohon ini dapat menjadi satu perumpamaan yang baik bagi manusia yang terlalu memuja keindahan fisiknya dan lupa pada keindahan rohaninya. padahal keindahan fisik (empiris) itu gak kekalkan? Lihat saja wajah yang dulunya halus, mulus karena setiap hari dirawat dengan berbagai produk kosmetik, toh akhirnya tidak bisa lari dari "keriput" kecuali jika pemiliknya mati muda. Artinya bagaimana pun manusia berusaha lari dari kejaran waktu, usia pasti akan membawa kita pada sebuah kenyataan dimana kita akan mendapati sosok kita "tua, reot, renta, keripu, dll". Lalu bagaimana dengan keindahan non fisik (rasional)? mampukah waktu merubahnya? Jawabanya pasti "iya"waktu juga akan mengubahnya. Tetapi tidak akan sama dengan perubahan yang di alami oleh keindahan empiris. Waktu akan mengantarkan keindahan rasional pada sebuah kematangan diri! Salah satu buktinya, "kesabaran, kelembutan, kecerdasan, dan kualitas keimanan" yang merupakan manifestasi dari keindahan rasional. menurut kamu akan terkikis seiring perjalanan waktu? nggak kan! Malah waktulah yang mebukakan ruang baginya untuk berproses dan berbenah diri menuju pribadi yang matang.

Salahkah manusia yang memiliki wujud keindahan empiris? Padahal itu juga merupakan anugerah dari Tuhan! Jawabannya pasti nggak juga kan! Tetapi meski itu juga adalah anugerah dari Tuhan, terkadang anugerah inilah yang menjauhkan manusia pada DIA sebagai sumber segala keindahan. Karena kesibukannya mengurus diri sendiri. Padahal keindahan empiris, sebenarnya adalah ujian dari-Nya sekaligus anugerah yang harus disambut dengan lafaz syukur yang terintegrasikan dalam perbuatan. Memiliki keindahan empiris bukanlah kesalahan dan alangkah baiknya jika keindahan ini dipadukan dengan keindahan rasional. Atau setidaknya kita belajar mencari jalan ke sana. Ingat ya... jika manusia mati, dia hanya akan meninggalkan "nama" serta kenangan yang menyertainya. Harum, tidaknya "nama" itu tergantung pada perilaku si pemilik nama, semasa hidupnya!!!!

Pondok Biru, Kamis, 26 Oktober 2006 (23:55)