Senin, 25 Januari 2016

Fashion dan Runaway ala Giddens

Mampir ke sebuah kedai makanan, pandanganku tidak fokus pada menu makanan di hadapan, melainkan lebih pada sebuah meja yang tidak begitu jauh dari tempat dudukku. Di sana, tiga pasang muda-mudi duduk berhadap-hadapan, seraya bercerita banyak hal. Yang sempat kudengar, salah satu dari mereka menawarkan model pakaian terbaru yang langsung mendaulat dirinya sendiri sebagai model, dan dengan sigap wanita muda itu berpose di depan teman-teman duduknya. Mereka bersorak-sorak, bak menyemangati temannya yang berpose. Sore itu, kedai makanan riuh oleh mereka. Karena, satu persatu yang lain mencoba barang yang ditawarkan. Lalu hiteris, “sukaaa….”.  Aku terkesiap, cantik memang. Tetapi pikiranku ternganggu saat aku sempat menguping pembicaraan mereka terkait harga dan asal pakaian itu. Fantastis, anak-anak muda itu tidak tanggung-tanggung menghabiskan uang, demi pakaian yang menurut hemat saya, biasa-biasa saja.


Dari sinilah, tiba-tiba saja Anthony Giddens, Sang Sosiolog berkebangsaan Inggris mendekap pikiranku. Bahwa, meski modernisasi membuka sebuah peluang menuju masyarakat madani, tetapi sewaktu-waktu dia juga dapat bertindak sebagai mesin perusak dari nilai dan tradisi lokal. Modernisasi yang dilakonkan oleh masyarakat post tradisional dianggap oleh Giddens lebih berpikiran rasional dan maju. Dan inilah yang dijadikan jembatan oleh orang-orang modern untuk mewujudkan kualitas madani dalam masyarakat. Namun tidak sampai disitu, sebab Giddens juga mewanti-wanti bahwa masyarakat modern yang dianggapnya rasional, memiliki kecenderungan besar berorientasi pada modal dan keuntungan tanpa memedulikan kelestarian nilai dan tradisi lokal.

Dalam hal ini, Giddens melihat modernisasi sebagai sebuah panser raksasa (juggernaut) yang lepas kontrol. Sebab jika, modernisasi gagal mewujudkan masyarakat madani, berarti dia tak ubahnya panser raksasa yang lepas kendali, dan siap menggilas apa dan siapa saja yang ada di sekitarnya. Atau setidaknnya, membuat yang di hadapan siap berlari mengejar kendalinya yang lepas.

Salah satu imbas dari hal ini adalah model busana (fashion). Berbusana, pada dasarnya berfungsi sebagai kebutuhan biologis (biological needs), sekaligus sebagai kebutuhan kebudayaan (cultural needs). Sebagai kebutuhan biologis, berbusana berarti menutupi/ melindungi hal-hal pada diri manusia yang bersifat subtansial dari perubahan cuaca, sampai pada perubahan hasrat (desire) orang-orang di sekitarnya. Dan sebagai kebutuhan budaya, maka busana memosisikan dirinya sebagai icon yang di dalamnya kedikdayaan tradisi diurai; apa yang digunakan seseorang, menggambarkan asal dan kualitas budayanya. Namun karena kuasa modern, berbusana juga kini menjadi kebutuhan gaya hidup (life style needs).

Kebutuhan terakhir inilah yang membuat wajah fashion porak-poranda, sebab gaya hidup adalah sesuatu yang senantiasa berubah, bahkan berlari bersama laju perkembangan teknologi dan pentas globalisasi. Dan mengikuti alurnya, berarti manusia harus menyiapkan tenaga, modal, dan pikiran ekstra agar tidak tertinggal di arenanya.  Maka, tidak mengherankan jika fashion tak lagi disekati oleh batas-batas wilayah, melainkan dapat ditemukan mode dan gaya berbusana yang sama, di tempat yang berbeda.

Inilah yang diwanti-wanti oleh Giddens, bahwa wajah lain dari modernisasi adalah mesin perusak nilai dan tradisi. Karena, jika tak disekati lagi oleh apa pun lagi, budaya yang dominan dan dianggap modern sewaktu-waktu dapat membombardir terang-terangan kearifan lokal tempat yang ditujunya dengan tawaran-tawaran fashion uptodate.

Alasannya sederhana, sebagai mesin perusak, modernisasi mendaulat kapitalisme sebagai institusi pemegang kendali utama dalam menjalankan tampuk kekuasaannya. Dan mekanisme kerja kapitalisme akan selalu mendorong manusia untuk terus berkompetisi. Walhasil, busana bukan lagi dipandang berdasarkan kebutuhan biologis dan kebutuhan budaya, melainkan simbol kecantikan dan prestise yang terus diadu dan diobrak-abrik atas alasan inovasi.

Dunia fashion yang bergantung pada modernisasi, ujungnya meninggalkan kesan; pertama, mendorong perilaku masyarakat yang konsumtif. Sebab, dunia fashion adalah juga dunia yang terus berlari dengan berbagai macam trending mode yang ditawarkan. Agar dikatakan manusia modern, maka menggunakannya adalah sebuah “kemestian”. Kedua, terjadi demoralisasi. Sebab, inovasi adalah terma yang menjadi corong terciptanya berbagai jenis mode pakaian dalam hitungan menit. Tetapi kebanyakan mode pakaian ini, tidak memerhatikan  tempat ditribusinya, melainkan lebih pada mode saja. Akibatnya, daerah/ negara yang memiliki pakem-pakem berbusana tersendiri, menjadi bulan-bulanan, dikarenakan masyarakatnya perlahan-lahan meninggalkan pakem atas nama modernisasi. Ketiga, terjadinya keretakan dan keresahan sosial oleh mode yang terlalu vulgar. Hal inilah yang banyak menjadi sebab meningkatknya pelecehan seksual, khususnya pada wanita.  Dan keempat, meningkatnya sikap egios dan materialisme. Sebab, masyarakat lebih cenderung memerhatikan dirinya sendiri (selalu berusaha tampil prima) dan merubah ruang-ruang sosial sebagai tempat bercengkrama dan bertukar pikiran, menjadi sebuah toko besar tempat bercerita seputar fashion dan menjajakkannya.


O Solihin dalam prolog bukunya “Andai Kamu Tahu” mengabadikan narasi di atas dengan mengutip cerita Giddens sebagai dunia yang sedang berlari.  Bahwa, semua yang sedang berlari selalu satu track lebih tinggi. Celakanya, bagi penikmat produk akhirnya tidak memiliki kesempatan untuk merenungkan lebih dalam, sebab yang penting dalam dunia ini adalah menjual dan membeli…. Dengan menerapkan budaya dan gaya hidup mereka.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan kritik apa saja yang anda lihat, rasa, dan pikirkan