Mampir ke sebuah kedai
makanan, pandanganku tidak fokus pada menu makanan di hadapan, melainkan lebih
pada sebuah meja yang tidak begitu jauh dari tempat dudukku. Di sana, tiga
pasang muda-mudi duduk berhadap-hadapan, seraya bercerita banyak hal. Yang
sempat kudengar, salah satu dari mereka menawarkan model pakaian terbaru yang
langsung mendaulat dirinya sendiri sebagai model, dan dengan sigap wanita muda
itu berpose di depan teman-teman duduknya. Mereka bersorak-sorak, bak
menyemangati temannya yang berpose. Sore itu, kedai makanan riuh oleh mereka.
Karena, satu persatu yang lain mencoba barang yang ditawarkan. Lalu hiteris,
“sukaaa….”. Aku terkesiap, cantik
memang. Tetapi pikiranku ternganggu saat aku sempat menguping pembicaraan
mereka terkait harga dan asal pakaian itu. Fantastis, anak-anak muda itu tidak
tanggung-tanggung menghabiskan uang, demi pakaian yang menurut hemat saya,
biasa-biasa saja.
Dari sinilah, tiba-tiba
saja Anthony Giddens, Sang Sosiolog berkebangsaan Inggris mendekap pikiranku.
Bahwa, meski modernisasi membuka sebuah peluang menuju masyarakat madani,
tetapi sewaktu-waktu dia juga dapat bertindak sebagai mesin perusak dari nilai
dan tradisi lokal. Modernisasi yang dilakonkan oleh masyarakat post tradisional
dianggap oleh Giddens lebih berpikiran rasional dan maju. Dan inilah yang
dijadikan jembatan oleh orang-orang modern untuk mewujudkan kualitas madani
dalam masyarakat. Namun tidak sampai disitu, sebab Giddens juga mewanti-wanti
bahwa masyarakat modern yang dianggapnya rasional, memiliki kecenderungan besar
berorientasi pada modal dan keuntungan tanpa memedulikan kelestarian nilai dan
tradisi lokal.
Dalam hal ini, Giddens
melihat modernisasi sebagai sebuah panser raksasa (juggernaut) yang lepas kontrol. Sebab jika, modernisasi gagal
mewujudkan masyarakat madani, berarti dia tak ubahnya panser raksasa yang lepas
kendali, dan siap menggilas apa dan siapa saja yang ada di sekitarnya. Atau
setidaknnya, membuat yang di hadapan siap berlari mengejar kendalinya yang
lepas.
Salah satu imbas dari
hal ini adalah model busana (fashion).
Berbusana, pada dasarnya berfungsi sebagai kebutuhan biologis (biological needs), sekaligus sebagai
kebutuhan kebudayaan (cultural needs).
Sebagai kebutuhan biologis, berbusana berarti menutupi/ melindungi hal-hal pada
diri manusia yang bersifat subtansial dari perubahan cuaca, sampai pada
perubahan hasrat (desire) orang-orang
di sekitarnya. Dan sebagai kebutuhan budaya, maka busana memosisikan dirinya
sebagai icon yang di dalamnya kedikdayaan tradisi diurai; apa yang digunakan
seseorang, menggambarkan asal dan kualitas budayanya. Namun karena kuasa modern,
berbusana juga kini menjadi kebutuhan gaya hidup (life style needs).
Kebutuhan terakhir
inilah yang membuat wajah fashion porak-poranda, sebab gaya hidup adalah
sesuatu yang senantiasa berubah, bahkan berlari bersama laju perkembangan
teknologi dan pentas globalisasi. Dan mengikuti alurnya, berarti manusia harus
menyiapkan tenaga, modal, dan pikiran ekstra agar tidak tertinggal di arenanya.
Maka, tidak mengherankan jika fashion
tak lagi disekati oleh batas-batas wilayah, melainkan dapat ditemukan mode dan
gaya berbusana yang sama, di tempat yang berbeda.
Inilah yang
diwanti-wanti oleh Giddens, bahwa wajah lain dari modernisasi adalah mesin
perusak nilai dan tradisi. Karena, jika tak disekati lagi oleh apa pun lagi,
budaya yang dominan dan dianggap modern sewaktu-waktu dapat membombardir terang-terangan
kearifan lokal tempat yang ditujunya dengan tawaran-tawaran fashion uptodate.
Alasannya sederhana, sebagai
mesin perusak, modernisasi mendaulat kapitalisme sebagai institusi pemegang
kendali utama dalam menjalankan tampuk kekuasaannya. Dan mekanisme kerja
kapitalisme akan selalu mendorong manusia untuk terus berkompetisi. Walhasil,
busana bukan lagi dipandang berdasarkan kebutuhan biologis dan kebutuhan
budaya, melainkan simbol kecantikan dan prestise
yang terus diadu dan diobrak-abrik atas alasan inovasi.
Dunia fashion yang
bergantung pada modernisasi, ujungnya meninggalkan kesan; pertama, mendorong
perilaku masyarakat yang konsumtif. Sebab, dunia fashion adalah juga dunia yang
terus berlari dengan berbagai macam trending mode yang ditawarkan. Agar
dikatakan manusia modern, maka menggunakannya adalah sebuah “kemestian”. Kedua,
terjadi demoralisasi. Sebab, inovasi adalah terma yang menjadi corong
terciptanya berbagai jenis mode pakaian dalam hitungan menit. Tetapi kebanyakan
mode pakaian ini, tidak memerhatikan
tempat ditribusinya, melainkan lebih pada mode saja. Akibatnya, daerah/ negara
yang memiliki pakem-pakem berbusana tersendiri, menjadi bulan-bulanan,
dikarenakan masyarakatnya perlahan-lahan meninggalkan pakem atas nama
modernisasi. Ketiga, terjadinya keretakan dan keresahan sosial oleh mode yang
terlalu vulgar. Hal inilah yang banyak menjadi sebab meningkatknya pelecehan
seksual, khususnya pada wanita. Dan keempat,
meningkatnya sikap egios dan materialisme. Sebab, masyarakat lebih cenderung
memerhatikan dirinya sendiri (selalu berusaha tampil prima) dan merubah
ruang-ruang sosial sebagai tempat bercengkrama dan bertukar pikiran, menjadi
sebuah toko besar tempat bercerita seputar fashion dan menjajakkannya.
O Solihin dalam prolog bukunya
“Andai Kamu Tahu” mengabadikan narasi di atas dengan mengutip cerita Giddens
sebagai dunia yang sedang berlari. Bahwa,
semua yang sedang berlari selalu satu track
lebih tinggi. Celakanya, bagi penikmat produk akhirnya tidak memiliki
kesempatan untuk merenungkan lebih dalam, sebab yang penting dalam dunia ini
adalah menjual dan membeli…. Dengan menerapkan budaya dan gaya hidup mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan kritik apa saja yang anda lihat, rasa, dan pikirkan