Selasa, 26 Januari 2016

Cantik atau Sederhana?

Cantikta, Bu…!”

Hari ini, tiba-tiba saja seorang murid berusia enam tahun menegurku. Kau cantik sekali/ Dan aku suka/ Kau lain sekali/ Dan aku suka, sontak saja potongan lagu Lobow ini bersiweleran di benakku. Entah apa yang berbeda pada diriku hari ini, sebab kurasa semuanya biasa-biasa saja.

Aku gembira? Yah, tentu saja aku sangat gembira. Siapa sih yang tidak gembira dipuji demikian. Apalagi jika pujian itu berasal dari mulut anak kecil yang menurut beberapa teori bahwa ucapan anak kecil itu selalu jujur. Tetapi tunggu dulu, ada yang lebih membuatku gembira, dari sekadar pujian tadi.

Rapa’

Di desa kecil ini, pasar merupakan palung perjumpaan yang sangat dirindukan. Sebab dia hanya datang dua kali tiap pekan. Dan dia, perempuan tua dengan sebuah buntalan berisi entah apa, membebani punggungnya tidak pernah luput mengisi keramaian pasar. Orang-orang banyak berpendapat tentang buntalan itu. Kata sebagian, isinya adalah setumpuk pakaian dan barang-barang berharga milik perempuan itu. Sebagian lagi mengatakan bahwa buntalan itu penuh dengan dedaunan dan rerumputan yang sudah mengering. Separuh berpendapat, ada banyak uang merah di buntalan tersebut. Uang merah yang dimaksud adalah lembaran seratus rupiah tempo dulu. Sisanya, misterilah yang mengambang.

Perihal perempuan ini pun tidak ada yang tahu persis asal usulnya. Semua hanya mengira-ngira. Dia datang dan pergi begitu saja, muncul dan tenggelam dari balik gunung, demikianlah sebagian terkaan warga. Meski demikian, ada beberapa orang warga yang menyebutkan, perempuan ini bermukim di bukit pinggiran desa. Dia memiliki rumah kecil di sana. Bahkan sebagian warga, terbiasa mendengar teriakan-teriakan mirisnya pada tengah malam-malam tertentu.  

Senin, 25 Januari 2016

Fashion dan Runaway ala Giddens

Mampir ke sebuah kedai makanan, pandanganku tidak fokus pada menu makanan di hadapan, melainkan lebih pada sebuah meja yang tidak begitu jauh dari tempat dudukku. Di sana, tiga pasang muda-mudi duduk berhadap-hadapan, seraya bercerita banyak hal. Yang sempat kudengar, salah satu dari mereka menawarkan model pakaian terbaru yang langsung mendaulat dirinya sendiri sebagai model, dan dengan sigap wanita muda itu berpose di depan teman-teman duduknya. Mereka bersorak-sorak, bak menyemangati temannya yang berpose. Sore itu, kedai makanan riuh oleh mereka. Karena, satu persatu yang lain mencoba barang yang ditawarkan. Lalu hiteris, “sukaaa….”.  Aku terkesiap, cantik memang. Tetapi pikiranku ternganggu saat aku sempat menguping pembicaraan mereka terkait harga dan asal pakaian itu. Fantastis, anak-anak muda itu tidak tanggung-tanggung menghabiskan uang, demi pakaian yang menurut hemat saya, biasa-biasa saja.

Feminisme dan Budaya Siri' Na Pacce

Istilah feminisme ini pertama kali dipopuliskan oleh Charles Fourier (salah satu aktivis sosialis utopis). Feminisme adalah gagasan kaum positivistik-empirik yang mencoba memilah-milah antara realitas dan pemikiran. Mengapa demikian? Karena feminisme sama sekali tidak memiliki ideologi gerakan yang jelas. Sehingga sampai sekarang banyak yang coba meraba-raba definisi feminisme berdasarkan motif kepentingannya.  Feminisme bagi kaum liberal adalah gerakan perempuan menuntut kebebasan dan kesetaraan rasionalitas, feminisme oleh golongan sosialis adalah gerakan perempuan menuntut persamaan hak dalam bidang ekonomi, kaum agamawan menerjemahkan feminisme sebagai gerakan perempuan menentang ayat-ayat yang dianggap  misoginis. Bagi para filosof, feminisme adalah aktualisasi sisi-sisi feminitas perempuan. Namun apapun definisinya, feminisme selalu saja terperangkap pada tiga asumsi bahwa, ada ketidakadilan gender, gender bukan sebagai sifat kodrati, dan memperjuangkan persamaan hak.

MELIHAT DENGAN ‘MATA’

Coba pejamkan mata barang semenit! Apa yang anda lihat? Gelapkah? Atau spekrum cahaya berupa bulatan-bulatan menggelinding satu-satu, lalu dari kecil perlahan membesar pun sebaliknya? Namun benarkah yang mengelinding itu adalah hasil tangkapan mata, ataukah memori otaklah yang memerankan skenarionya? Lalu coba peragakan memejamkan mata ini pada anak-anak. Jawaban spontan polos mereka, “tidak ada”. Yah, benar, dalam gelap memang ketiadaan lebih dominan, namun dalam kondisi inilah kadang makna-makna baru menyubur.

Sindrom Narsis Kompleks

Suatu kali, bersama keluarga saya menghabiskan waktu di sebuah objek wisata alam. Pengunjungnya padat, karena memang hari itu bertepatan dengan hari libur. Para pengunjung saling silang, berseliweran di hadapan. Pun banyak pula yang menikmati guyuran air terjun dari mata air pegunungan. Dan saya punya aktivitas berbeda. Seorang wanita muda (mungkin ABG) menarik perhatian saya. Bukan karena parasnya, melainkan karena gerak-geriknya. Dari kejahuan kornea mataku menangkap dirinya sedang asyik berpose dari ujung kaki sampai rambut, lalu mendokumenasikannya dengan ponsel dan bantuan sebuah tongsis (tongkat narsis). Seletah mememorikan dirinya dalam ponsel, lalu dia pun melanjutkan akivitas foto-fotonya, pada beberapa tempat yang hanya terhitung beberapa senti jaraknya dari tempat sebelumnya, sampai batas mataku tak melihatnya. Aku senyum-senyum sendiri, “tongsis oh tongsis, dirimu benar-benar berhasil melejitkan Si Narsis yang doyan selfie.” Batinku.