Coba pejamkan mata barang semenit! Apa yang anda
lihat? Gelapkah? Atau spekrum cahaya berupa bulatan-bulatan menggelinding
satu-satu, lalu dari kecil perlahan membesar pun sebaliknya? Namun benarkah
yang mengelinding itu adalah hasil tangkapan mata, ataukah memori otaklah yang
memerankan skenarionya? Lalu coba peragakan memejamkan mata ini pada anak-anak.
Jawaban spontan polos mereka, “tidak ada”. Yah, benar, dalam gelap memang
ketiadaan lebih dominan, namun dalam kondisi inilah kadang makna-makna baru
menyubur.
Ada apa dengan mata? Sepertinya saya hendak
memata-matai mata dulu untuk melanjutkan tulisan ini. Bahwa dengan matalah kita
mampu melihat banyak hal yang mewujud. Tanpa mata, kita tidak mampu mengenali
benda-benda di sekeliling, pun kegunaan dan rupa-rupanya. Dan dengan bantuan
mata pula, hati dan pikiran kita memadu terawang banyak hal yang melampaui
realitas. Pun dengan bantuan mata, imajinasi bergelimang. Tak salah jika
Aristoteles bersabda, “di dalam segala
hal yang ada di alam semesta ini, sesungguhnya kita bisa melihat banyak
keajaiban.” Karena pentingnya keberadaan mata, kehilangannya merupakan
bencana tersial bagi manusia dan mahluk lain yang memiliki mata. Tidak memiliki
mata, berarti cacat terhebat melekati keberadaan kita seumur hidup, dunia
menjadi sewarna; hitam.
Warna ini, selalu identik dengan kengerian dan
kegelapan. Namun bisa juga bersimbol misterius (meretas dunia inmateri/ tak
berwujud). Jika hitam, didominasi dalam simbol kengerian, maka yang tak berfungsi
matanya akan merana, terhinakan, dan terselubung gelap. Sebaliknya, jika fungsi
mata tidak aktif dimaknai sebagai sebuah lompatan ruhani, maka makna lain akan
tersimpul dan dunia akan kembali terang.
Helen Keller, seorang akivis sosial, dosen, dan
penulis yang mengalami buta dan tuli oleh sebuah penyakit sejak menginjak usia
19 bulan, berhasil membuktikan lompatan ruhani tersebut. Bahwa, ‘mata’ bukanlah
salah satu perangkat tubuh manusia yang dilengkapi kornea dengan begitu banyak
sel-sel syaraf, melainkan ‘mata’ juga ada dibagian lain dalam tubuh manusia
yang sulit terbahasakan, namun terasa keberadaannya. Karena itu, ada hal lain
yang melihat pada diri manusia, selain dua bulatan berbintik hitam tersebut. “Hal paling indah di dunia ini tak dapat
dilihat dan bahkan tak bisa disentuh, hal tersebut hanya bisa dirasakan dengan
hati.” Demikianlah Helen Keller, menarasikan melihat dengan ‘mata’ yang
dimilikinya.
Dalam dunia perfilman, melihat dengan ‘mata’ juga
pernah digubah oleh Majid Majidi, pada film The Color of Paradise. Film ini
berkisah tentang perjalanan hidup seorang anak lelaki buta bernama Mohammad.
Perannya yang banyak menonjolkan keindahan alam yang dinikmatinya dengan
sentuhan jari-jemari, dan pemakluman-pemakluman atas kondisi dirinya, membuatnya
melihat banyak hal yang tak dapat dilihat oleh mata kita. Seperti dalam salah
satu dialognya dengan Sang Nenek yang sungguh menyayanginya, di tengah ladang
sepulang ziarah;
“Mengapa
tangan, Nenek begitu putih?”
“Siapa
yang mengatakannya, Sayang?”
“Saya
melihatnya sendiri. Tangan nenek begitu putih.”
“Nenek
bekerja di perkebunan, karena itu kulit nenek hitam dan kasar.”
“Tidak,
tangan nenek lembut dan indah....”
Dialog di atas, pastinya tidak berbicara tentang
lembut dan indah berdasarkan penglihaan fisik kita, melainkan definisinya ada
dalam lingkup inmateri/ ruhani. Hebatnya, Mohammad yang diperankan oleh Mohsen
Ramezani adalah benar seorang anak buta. Karena itu, aktingnya natural dan
banyak dipuja. Dia pun berhasil bermetamorfosis dalam gelapnya menjadi terang.
Mengangkat nama Helen dan Mohsen, saya tak bermaksud
mengatakan bahwa hanya merekalah yang mata fisiknya tak berfungsi, selanjunya
memiliki keluarbiasaan. Saya hanya ingin menarasikan tentang melihatnya orang
yang ber-‘mata’. Karena bangga memiliki mata sempurna dengan bulu mata yang
lentik, belum tentu sejalan dengan hasil penglihatan yang diramu oleh pikiran
dan hati. Sering kali, mata mengagumi tetapi hati mengingkari. Dan tak jarang
pengingkaran itu mengerucut pada ke-ada-an-Nya. Tak salah jika banyak yang
berkata, “pandanglah mata lawan bicaramu saat berbicara, sebab darinya kau akan
tahu perkataannya jujur, atau terselip kedustaan. Darinya pula, kau akan
melihat kualitas dirinya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan kritik apa saja yang anda lihat, rasa, dan pikirkan