Senin, 25 Januari 2016

MELIHAT DENGAN ‘MATA’

Coba pejamkan mata barang semenit! Apa yang anda lihat? Gelapkah? Atau spekrum cahaya berupa bulatan-bulatan menggelinding satu-satu, lalu dari kecil perlahan membesar pun sebaliknya? Namun benarkah yang mengelinding itu adalah hasil tangkapan mata, ataukah memori otaklah yang memerankan skenarionya? Lalu coba peragakan memejamkan mata ini pada anak-anak. Jawaban spontan polos mereka, “tidak ada”. Yah, benar, dalam gelap memang ketiadaan lebih dominan, namun dalam kondisi inilah kadang makna-makna baru menyubur.


Ada apa dengan mata? Sepertinya saya hendak memata-matai mata dulu untuk melanjutkan tulisan ini. Bahwa dengan matalah kita mampu melihat banyak hal yang mewujud. Tanpa mata, kita tidak mampu mengenali benda-benda di sekeliling, pun kegunaan dan rupa-rupanya. Dan dengan bantuan mata pula, hati dan pikiran kita memadu terawang banyak hal yang melampaui realitas. Pun dengan bantuan mata, imajinasi bergelimang. Tak salah jika Aristoteles bersabda, “di dalam segala hal yang ada di alam semesta ini, sesungguhnya kita bisa melihat banyak keajaiban.” Karena pentingnya keberadaan mata, kehilangannya merupakan bencana tersial bagi manusia dan mahluk lain yang memiliki mata. Tidak memiliki mata, berarti cacat terhebat melekati keberadaan kita seumur hidup, dunia menjadi sewarna; hitam.

Warna ini, selalu identik dengan kengerian dan kegelapan. Namun bisa juga bersimbol misterius (meretas dunia inmateri/ tak berwujud). Jika hitam, didominasi dalam simbol kengerian, maka yang tak berfungsi matanya akan merana, terhinakan, dan terselubung gelap. Sebaliknya, jika fungsi mata tidak aktif dimaknai sebagai sebuah lompatan ruhani, maka makna lain akan tersimpul dan dunia akan kembali terang.

Helen Keller, seorang akivis sosial, dosen, dan penulis yang mengalami buta dan tuli oleh sebuah penyakit sejak menginjak usia 19 bulan, berhasil membuktikan lompatan ruhani tersebut. Bahwa, ‘mata’ bukanlah salah satu perangkat tubuh manusia yang dilengkapi kornea dengan begitu banyak sel-sel syaraf, melainkan ‘mata’ juga ada dibagian lain dalam tubuh manusia yang sulit terbahasakan, namun terasa keberadaannya. Karena itu, ada hal lain yang melihat pada diri manusia, selain dua bulatan berbintik hitam tersebut. “Hal paling indah di dunia ini tak dapat dilihat dan bahkan tak bisa disentuh, hal tersebut hanya bisa dirasakan dengan hati.” Demikianlah Helen Keller, menarasikan melihat dengan ‘mata’ yang dimilikinya.

Dalam dunia perfilman, melihat dengan ‘mata’ juga pernah digubah oleh Majid Majidi, pada film The Color of Paradise. Film ini berkisah tentang perjalanan hidup seorang anak lelaki buta bernama Mohammad. Perannya yang banyak menonjolkan keindahan alam yang dinikmatinya dengan sentuhan jari-jemari, dan pemakluman-pemakluman atas kondisi dirinya, membuatnya melihat banyak hal yang tak dapat dilihat oleh mata kita. Seperti dalam salah satu dialognya dengan Sang Nenek yang sungguh menyayanginya, di tengah ladang sepulang ziarah;
“Mengapa tangan, Nenek begitu putih?”
“Siapa yang mengatakannya, Sayang?”
“Saya melihatnya sendiri. Tangan nenek begitu putih.”
“Nenek bekerja di perkebunan, karena itu kulit nenek hitam dan kasar.”
“Tidak, tangan nenek lembut dan indah....”

Dialog di atas, pastinya tidak berbicara tentang lembut dan indah berdasarkan penglihaan fisik kita, melainkan definisinya ada dalam lingkup inmateri/ ruhani. Hebatnya, Mohammad yang diperankan oleh Mohsen Ramezani adalah benar seorang anak buta. Karena itu, aktingnya natural dan banyak dipuja. Dia pun berhasil bermetamorfosis dalam gelapnya menjadi terang.

Mengangkat nama Helen dan Mohsen, saya tak bermaksud mengatakan bahwa hanya merekalah yang mata fisiknya tak berfungsi, selanjunya memiliki keluarbiasaan. Saya hanya ingin menarasikan tentang melihatnya orang yang ber-‘mata’. Karena bangga memiliki mata sempurna dengan bulu mata yang lentik, belum tentu sejalan dengan hasil penglihatan yang diramu oleh pikiran dan hati. Sering kali, mata mengagumi tetapi hati mengingkari. Dan tak jarang pengingkaran itu mengerucut pada ke-ada-an-Nya. Tak salah jika banyak yang berkata, “pandanglah mata lawan bicaramu saat berbicara, sebab darinya kau akan tahu perkataannya jujur, atau terselip kedustaan. Darinya pula, kau akan melihat kualitas dirinya.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan kritik apa saja yang anda lihat, rasa, dan pikirkan