Sabtu, 23 Juni 2012

Narasi Satu Senyuman

Duka Di Sudut Jendela; Suatu Hari Pastinya

Ditangan kanak-kanak,
kertas menjelma perahu Sinbad yang tak takluk pada gelombang.
menjelma burung,
yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan;
di mulut anak-anak, kata menjelma kitab suci.

Tuan, jangan kau ganggu permainanku ini. (Sapardi Djoko Damono)

Dia tidak pernah meminta lebih dari hidupnya sekarang. Dia tidak juga tidak ingin memilih sebagaimana aral yang membentang luas di hadapannya. Apalagi berani menunggu satu hal di luar mampu dan sadarnya. Dia hanyalah seorang anak, layaknya dedaunan. Tidak pernah menggantungkan hidup pada aliran muara, apalagi akan terombang-ambing entah kemana. Pun bukan pusaran angin, yang sejenak namun meluluhlantakan bangunan-bangunan kesadaran orang-orang di sekelilingnya. Sekali lagi, dia masih kecil. Hanya butuh sepetak ruang, bermain tanpa setumpuk beban yang pelan menggunung.


Bukan seperti sekarang nyatanya, hampir setiap hari pandangannya menerawang di sudut jendela menyaksikan anak-anak seusianya berlarian, dan sebagian lagi memacu kuda-kudaan dari pelapah pisang. Dia hanya bisa sebatas mengintip keluh dari celah jendela, karena sekujur tubuh kaku, terpaku oleh penyakit mematikan yang tak pernah diminta. Itu pun jika sanggup, jika tidak, dia pelan-pelan mendengar riuh tawa yang begitu reyah dari anak-anak kecil seusianya yang bermain petak umpet dari balik dinding tempatnya terlukai tak berdaya.

Bukan ingin memilih itu, tetapi takdirlah yang menyimpan cerita lain untuknya. Di tengah keluarga yang tak pernah mengenal aksara, menyambung hidup dari butiran peluh keringat yang berderet-deret di sekujur tubuh; tentu setiap harinya.  Sampai terantuk di tempat bermukim yang jauh dari cahaya; cahaya dari para pemilik kekayaan meruah. Tetapi tentu saja, masih tetap bersinar karena dia adalah anak yang dilahirkan dari cahaya dan harapan orang tuanya. Olehnya itu, meski sakit yang memekik, mereka tetap punya satu mimpi; kelak anaknya akan sembuh, tumbuh menjadi bintang kejora.

Sepotong Cinta Meliuk-liuk; Juga Di Suatu Hari

“Cinta dan keajaiban memiliki persamaan besar. Keduanya memperkaya jiwa dan mencerahkan hati.” (Nora Roberts, Novelis Amerika Serikat)

Entah siapakah yang pertama menamai “rasa” itu dengan “cinta”, juga tak tahu bagaimana caranya sehingga cinta begitu lekat dengan warna merah muda, tak ada asal-usul yang jelas. Terpenting adalah bahwa cinta dan merah muda adalah perpaduan keajaiban yang begitu menggelora namun syahdu, begitu memabukkan tetapi menggetarkan, sangat lembut namun memekikkan telinga ke seluruh penjuru. Santun menawarkan sayang pada setiap lubang-lubang perih yang menukik. Begitulah dia mewartakan sepotong cinta dalam sebuah penjelmaan ajaib di sudut jendela nun jauh di sana. Suatu tempat, dimana si kecil menanti Dewi Fortuna membawakan sekantung keajaiban.

Dia adalah seorang pemuda sederhana. Sesederhana cinta yang ingin dia tembangkan padanya. Berjuang mengumpulkan kepingan-kepingan logam di setiap tempat terjepitnya dia, jika mesti jari berdarah pun akan menjadi taruhannya. Dia pelan-pelan merangkai titian menuju kejora; tentunya untuk si kecil. Bersama beberapa orang yang juga bersinar hatinya. Jiwanya merasa sedemikian kaya menjemput sebuah senyuman jika kelak titian itu berhasil dipijak oleh si Kecil, meski tertatih-tatih.

Kisah sepotong cinta yang meliuk-liuk mencari jalan. Sebuah jalan kemanusiaan bagi Wong cilik yang buah hatinya tidak pernah menjadi objek perhatiaan sebagaimana diperhatikannya Selebriti kecil yang heboh diwartakan TV. Kebekuan hati menjeratnya, meringkih, menyusut, dan mengurus tak terurus nun jauh di sana; si kecil yang malang. Tetapi berbeda dengan dia; usia mudanya jelas, tetapi hatinya melampaui jiwa mudanya menembus batas yang tak pernah di jangkau sebelumnya. Jauh…jauh…di sudut sana, merangkul satu jiwa, membawanya ke tempat yang layak untuk sembuh, menjaganya, sampai harus melupakan diri sendiri. Sketsa hidup pemuda penuh cinta yang unik dan langkah.

Jalan Cahaya Bukan Lagi Sebuah Cerita


“Jika seseorang belum menemukan sesuatu untuk diperjuangkan hingga akhir hayatnya,
maka kehidupannya tidak berharga.” (Martin Luther King Jr, Seorang aktivis HAM)

Menyelamatkan satu nyawa bukan merupakan narasi yang baru bagi Tim SAR, atau para relawan yang menembus hutan belantara demi mencari korban pesawat Sukhoi. Sebab misi kemanusiaan mereka ternilai oleh kamera dan setumpuk imbalan; mungkin. Tetapi dia, si pemuda dan teman-temannya tidak demikian. Tanpa sorot kamera, tanpa sebuah imbalan materi mereka telah berhasil membangun jalan cahaya. Sekarang si Kecil di sudut jendela itu telah perlahan bersinar setelah kurang lebih sebulan menggantungkan hidupnya dengan selang infus dan berbagai jenis obat-obatan di Rumah sakit. Sebuah perjuangan ala anak muda yang memukau, tentunya kalian berhak untuk hidup bahagia dan tersenyum sumringah untuk jalan kemanusiaan yang sedemikian hikmad.

Tahukah, di cakrawala sana mega merah merona
Bukan karena senja mengecup keningnya
Atau arakan awan mencubit hidungnya
Bukan karena itu
Dia merona oleh keterpesonaannya padamu
Yang pelan-pelan mengerdipkan mata padanya, saat menolehnya pun sebagian enggan
Tahukah? Dia begitu ceria sore ini
Oleh gemuruh sebuah hati bertabur senyuman yang membias dari kesejatian penderma
Bahkan senja dan arakan awan, iri rupanya
Dan karenamu
Lihatlah....
Senyum satu jiwa terlukis di sana untuk menggenapi kebahagiaanmu…..

Makassar, 18 Juni 2012

Narasi sederhana ini, saya dedikasikan untuk saudara kami Rahmat Ikhsan Mappangara dan teman-temannya yang rela mengorbankan waktu, tenaga, dan materinya untuk pengobatan seorang Anak Penderita Hidrosefalus dari pelosok Sul-Bar.....Salut untuk jiwa kemanusiaan kalian. Berbahagialah atas bentangan gerbang kebaikan yang salah satunya telah kalian lalui...keep your spirit friends.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan kritik apa saja yang anda lihat, rasa, dan pikirkan