Rabu, 17 Maret 2010

Para Pencari Cinta (naskah drama mini)


Epilog

            Suatu senja di Anjungan Losari, puluhan muda-mudi berkumpul melepas penat dan menjauh dari kebisingan kota. Sebagian bercakap-cakap berkelompok dan sebagian lagi asyik menikmati senja dengan pasangan masing-masing. Menikmati matahari terbenam kala senja mulai menjemput malam juga menjadi aktivitas rutin bagi Alvin dan Melati. Bagi mereka Ajungan Losari merupakan potret kota Makassar yang dipenuhi kesibukan dan kerumitan masyarakat kota. Hal ini mengakibatkan munculnya sikap individualistik dan terabaikannya masyarakat pinggiran yang mengadu nasib di sepanjang Anjungan Losari. Tidak ada satu pun yang perduli dengan intrik dan derita yang terjadi pada kehidupan mereka. Sementara mereka harus memilih mencari Cinta yang tersembunyi pada bangunan-bangunan beton, sementara itu pula masyarakat ekonomi dan penguasa asyik memperkaya diri. Inilah yang menjadi sumber inspirasi bagi Alvin yang berprofesi sebagai penyair untuk menulis sebuah puisi. Namun kegemaran Alvin ini kurang diminati oleh kekasihnya Melati karena dia merasa kurang diperhatikan. Sehingga menghadirkan problema antara Alvin dan Melati sekaligus menguak latar belakang siapa sebenarnya Melati.

Kisah ini diperankan oleh Enam tokoh yaitu:

  1. Syahril Alvin              sebagai  Alvin
  2. Zulfatmi                     sebagai  Melati
  3. Muchniar                   sebagai  Pengemis
  4. Siti Fatimah               sebagai  Ayu
  5. Jumriani                     sebagai  Ratih
  6. Jusnaedah                  sebagai  Ana

Alur Ceritanya : Maju-mundur
Dialog teks

Alvin dan Melati duduk berdampingan pada sebuah bangku panjang tanpa ada percakapan. Alvin sibuk menulis pada selembar kertas dan Melati mempermainkan ponselnya.

Ana                 : (Melintas menawarkan minuman botol ke Melati)
   ”Minumnya, Mbak?” dan Melati menolak.
                          (Ana menawarkan lagi ke Alvin dan Alvin pun menolak)
Melati             : ”Sampai kapan aku harus duduk di sini, mematung memperhatikan kamu    
    yang sibuk sendiri dengan kertas itu?”
Alvin               : ”Sabar, Mel!"
Melati             : ”Aku punya batas kesabaran, Al. Hampir setiap kali kita ke sini,  kamu  hanya sibuk dengan kertas dan penamu. Kapan kau sisakan waktu untukku? Seberapa pentingnya puisi-puisi itu , Al?” (nada marah)
 ”coba kamu perhatikan di sudut sana (sambil menunjuk ke sudut ruangan) mereka pasangan romantiskan?”
Alvin               : (Melipat kertasnya lalu menatap Melati)
                          ”Romantis itu tidak bisa diukur hanya dengan rangkulan dan pegangan tangan, Mel. Bisa saja hari ini mereka terlihat romantis tetapi entah esok apakah itu masih tetap seperti sekarang.” (sambil tersenyum)
                          ”Mel, kitakan sudah lama pacaran. Apalagi kita berdua telah komitmen ke jenjang selanjutnya. Seharusnya kamu bersikap dewasa dengan hubungan kita.”
Melati             : ”Maaf, aku tidak bisa!”
Alvin               : ”Maksud kamu?”
Melati             : ”Aku tidak bisa menjalani hubungan ini lebih serius. Aku ragu?!”
Alvin               : ”Mengapa? Padahal kemarin....”
Melati             : (Memotong pembicaraan Alvin)
                          ”Iya, kemarin aku memang setuju dengan rencana itu karena aku mengira kamu bisa berubah dan lebih memperhatikan aku. Tetapi ternyata aku salah!! Puisi-puisi konyol itu lebih penting daripada aku!” (nada marah)
Alvin               : ”Aku sama sekali tidak pernah berpikir membandingkan kamu dengan puisi ini. Tolong Mel, aku mohon sedikit kebijaksanaanmu. Aku mencintaimu dan aku akan terus berpuisi untuk menyuarakan kehidupan mereka.” (menunjuk sekeliling tempat pentas)
Melati             : ”Apa yang bisa kamu berikan kepadaku dari puisi-puisi itu?” (tertawa mencibir), ”Puisi itu hanya sederetan kata, tak bisa digunakan untuk membeli beras. Apalagi untuk menghidupi keluarga!”
Alvin               : ”Dengan puisi ini aku akan memberimu cinta. Maaf jika kamu ragu! Aku akan tetap optimis dengan kehidupan yang kujalani sekarang. Beri aku kesempatan, Mel untuk membuktikannya.”
Ratih               : (Melintas pengamen di depan Alvin dan Melati. Tanpa diminta dia menyanyikan sebait lagu)
                          ”Permisi....” (Ratih memainkan alat musik dari tutup botol . Lagunya terhenti saat Alvin memberinya recehan. Ratih berlalu dan mengamen di tempat lain)

Sejenak suasana hening

Melati             : ”Aku bingung, aku bosan hidup susah, aku lelah dengan kehidupanku sekarang, aku....” (kata-kata Melati terpotong dengan kehadiran seorang pengemis tua)
Pengemis        : ”Nak, aku mohon belas kasihnya. Berilah aku sedikit uang. Ibu lapar, Nak!” (nada mengibah)
Melati             : ”Kami tidak punya uang!” (sambil menoleh ke arah pengemis)
                          (Melati dan pengemis sama-sama tersentak)
Pengemis        : ”Me... Me... Melati.” (nadanya terbata-bata sambil menunjuk ke arah Melati)
Alvin               : ”Kamu kenal dia?” (bingung)
Melati             : ”Aku tidak kenal dia.”
Pengemis        : ”Melati, kamu ini kanapa, Nak?”
Melati             : (Mendorong pengemis) ”Pergi sana!! Kalau mau mengemis, cari tempat lain. Jangan di sini mengganggu orang.”
Pengemis        : (Terjatuh), ”Aduuuh!!!”

Dari dua sudut yang berbeda, Ana, Ayu, dan Ratih berlari ke arah Si pengemis dan membantunya berdiri.

Ayu                 : ”Tega yah kamu dengan ibu yang telah melahirkan kamu? Atau begini balasan kamu kepada ibu yang dengan susah payah membesarkan kita?”
Melati             : ”Mbak tidak usah ikut campur! Dia sendiri kok yang salah, datang tidak lihat-lihat waktu.”
Alvin               : ”Tunggu... tunggu. Mbak ini siapa? Siapa ibu ini?” (masih kebingungan)
Pengemis        : ”Ayu, sudahlah. Ibu tidak apa-apa!”
Ayu                 : ”Tidak, Bu. Dia sudah keterlaluan! Dengar baik-baik, aku kakaknya Melati dan dia (sambil menunjuk ke arah pengemis) ibu kami!”
Melati             : (Memandang Alvin dan Ayu bergantian)
                          ”Kalian puas? Aku memang anak seorang pengemis. Aku lahir dan besar di jalanan. Tetapi aku tidak pernah meminta lahir dengan nasib seperti ini. Seandainya aku bisa memilih, aku menyesal lahir dari rahim seorang pengemis yang tak pernah bisa memberikan kebahagiaan untukku.”

Pengemis menangis dan Ayu terdiam

Ratih               : ”Astaqfirullah.... istiqfar, Mel!”
Pengemis        : ”Mel, ibu tidak menyangka kamu tega mengucapkan kata-kata itu.” (Pengemis pinsan)
Ana                 : ”Bu... Bangun, Bu!” (mencari minyak angin dalam tas usangnya dan menolong pengemis)
Ayu                 : (Berlari ke arah pengemis dan membantu Ana memberikan perawatan)
Alvin               : ”Mel, dia ibumu. Bagaimanapun keadaan dan latar belakang kamu, aku tetap mencintaimu. Minta maaflah ke ibumu, karena dengan cintanya jalan kita akan mendapat ridho Tuhan.”

Melati menunduk dan terdiam. Alvin menemani Melati menemui ibunya yang telah siuman.
Melati             : (Dengan agak ragu dan malu-malu mencium tangan ibunya dan mereka saling berangkulan). Sementara Alvin, Ayu, dan Ratih tersenyum.
Ana                 : ”Ternyata memang benar yah, setiap orang butuh perhatian, setiap orang butuh kasih sayang, setiap orang merindukan cinta. Kita semua adalah para pencari Cinta dan beruntunglah mereka yang tetap bijak memelihara cinta. Marilah merindui dengan sederhana dan mencintai dengan sempurna.”
Ratih dan Ayu : ”Puitis juga kamu.” (sambil tertawa)        
( Ratih, Ayu, Pengemis, Ana, Melati kembali kepada aktivitasnya masing-masing dan Alvin langsung membacakan puisi)

Pencari Cinta

Sepotong cinta menjerit-jerit
Pada kebekuan malam yang kelam
Menyelinap di balik ketebalan kabut
Berjalan sendiri sambil menangis

Senja tadi dia terusir
Dari sepenggal hati yang kaku
Terlantar tanpa daya
Tercerabut dari cahayanya

Dia telah mati
Saat cinta itu pergi
Dalam raganya berkobar bara
Tak kunjung padam tanpa cinta

Astagfirullah.... Astagfirullah... Astagfirullah....
Cinta jangan jauh
Cinta takkan kau mati
Cinta hadirkan lentera
Aku kini mencarimu

Bulukumba, 20 Januari 2010 (dibuat untuk mata kuliah "Kajian dan Apresiasi Drama")

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan kritik apa saja yang anda lihat, rasa, dan pikirkan