Senin, 25 Januari 2016

Sindrom Narsis Kompleks

Suatu kali, bersama keluarga saya menghabiskan waktu di sebuah objek wisata alam. Pengunjungnya padat, karena memang hari itu bertepatan dengan hari libur. Para pengunjung saling silang, berseliweran di hadapan. Pun banyak pula yang menikmati guyuran air terjun dari mata air pegunungan. Dan saya punya aktivitas berbeda. Seorang wanita muda (mungkin ABG) menarik perhatian saya. Bukan karena parasnya, melainkan karena gerak-geriknya. Dari kejahuan kornea mataku menangkap dirinya sedang asyik berpose dari ujung kaki sampai rambut, lalu mendokumenasikannya dengan ponsel dan bantuan sebuah tongsis (tongkat narsis). Seletah mememorikan dirinya dalam ponsel, lalu dia pun melanjutkan akivitas foto-fotonya, pada beberapa tempat yang hanya terhitung beberapa senti jaraknya dari tempat sebelumnya, sampai batas mataku tak melihatnya. Aku senyum-senyum sendiri, “tongsis oh tongsis, dirimu benar-benar berhasil melejitkan Si Narsis yang doyan selfie.” Batinku.


Pada kesempatan lain, mengikuti trend facebook (FB), saya juga senang membuka-buka beranda dan membaca informasi baru yang dimuatnya. Tetapi saat sedang khusuk-khusunya, pandangan dan konstrasi sering terantuk pada gambar-gambar wajah yang dijadikan foto profil FB. Persoalannya sederhana saja, foto profil yang memuat 90% wajah pemiliknya dengan mimik sedemikian, dan polesan kecanggihan kamera, kadang membuat saya pangling pada si pemilik wajah. Akhirnya, imajinasi malah berkeliaran pada wajah tersebut.

Kasus lain yang bernada, juga sering saya jumpai saat berkunjung ke pusat perbelanjaan. Terkadang saya memang sengaja menguping pembicaraan anak muda yang berkerumun pada tempat-tempat tertentu. Dari hasil ngupingan, pembicaraan mereka ternyata tidak lepas dari makan di mana? Kapan clubbing-nya? Mobil kamu ganti lagi, yah? Atau ngesalon dimana? Eh, baju kamu bagus. Keluaran baru, yah? Beli dimana? Belum lagi, percakapan itu disertai dengan gerakan tubuh yang dibuat-buat, dan suara yang diindahkan.

Simpulanku, cerita di atas semuanya bermuara pada kata narsis. Istilah ini mengakar pada dongeng masyarakat Yunani. Kabarnya, dahulu hiduplah seorang pemuda yang merupakan putra seorang dewa dan bidadari. Dia memiliki wajah yang sangat tampan. Suatu ketika, dia duduk-duduk di tepi kolam, seraya mengamati bayangan dirinya pada air kolam yang bening. Karena bayangan wajah itu begitu memesona, akhirnya pemuda tersebut jatuh cinta pada gambaran wajah yang dilihatnya. Dia benar-benar terpikat, dan setiap waktu dia mendatangi kolam tersebut untuk  mencari bayangan wajah yang pernah dilihatnya. Dia jatuh cinta pada banyangan tersebut, dan demi kesetiaan pada bayangannya, pemuda itu pun mengabaikan cinta seorang dewi bernama Echos. Nama pemuda itu adalah Narsisus, yang belakangan menginspirasi lahirnya istilah narsis/ narsisme. Dari dongeng inilah isilah narsis lalu dikaitkan dengan orang yang memuja dan mencintai, serta asik dengan dirinya sendiri.

Menjadi narsis, adakah yang salah? Sebagian psikolog menjawab ‘iya’. Sebab dari dongeng di atas, Narsisus bukan mencintai dirinya, melainkan bayangannya. Dan kadang kita keliru menerjemahkan narsis dengan kecintaan pada diri sendiri, sebagaimana sebenarnya diri. Contoh-contoh di atas, jika ditelisik jauh, benar! Tak satu pun menerima keberadaan/ eksisensi dirinya. Semisal, agar tangkapan kamera pas, maka ada tongsis, wajah yang dipaksa senyum, dan terakhir dihaluskan dengan kamera 360 (serta aplikasi sesamanya) untuk sebuah decak kagum. Ataukah, agar mendapakan banyak ‘like’ dalam sosial media, maka sangat jarang penggunanya memasang foto-foto yang biasa-biasa saja (baca ‘jelek’), pun untuk prestise, tak jarang gaya hidup, gaya bicara, dan bahasa tubuh dihiperbolakan. Bukankah itu semua adalah bayangan? Dan Sang Narsis adalah mereka yang senantiasa dibayang-bayangi banyangan. Kita (hamper semua manusia) melakoni ini, meski dengan kadar yang berbeda-beda. Itu tidak bias dipungkiri. Oleh Sam Vaksin, penulis buku Malignant Self Love-Narcissism Revisited, Narsisus mengalami gangguan kejiwaan. Bahwa ada perbedaan besar antara diri yang sebenarnya, dan diri yang terlihat dari sebuah pantulan. Orang yang terjerat pada pesona bayangan, akan sulit mencintai hal yang di luar bayangan. Sehingga mereka akan terkepung ilusi dan halusinasi yang akhirnya berujung pada kebanggaannya pada opini orang sekitar (meski hanya ilusi) bahwa dia seorang yang penting, unik, dan menarik.

Narsis, membawa manusia pada sebuah ruang kosong yang kusam, lalu ditata dan dipoles oleh pemilik ruang agar dapat menjadi ornamen-ornamen indah untuk membuat ruang itu menarik. Sepintas, jika memandangnya orang akan berdecak kagum. Bahkan hendak membayar ruangan itu dengan harga mahal. Tetapi, jika ornamen-ornamen hasil racikan pemiliknya juga mengusang, maka ruangan itu tak ada harganya, kecuali jika dipoles kembali.

Umpama, diri ini adalah ruangnya dan ornamen-ornamen itu adalah ‘pernak-pernik’ yang membuat kita menarik, maka pemilik ruang adalah opini-opini di sekitar yang menjadi rujukan untuk ‘menjadi’. Narsis, menghasilkan manusia penuh ilusi, dan tidak merdeka. Lalu bagaimana agar kadar narsis mengecil? Jean Paul Sartre memberi solusi, bahwa manusia yang merdeka/berkesistensi adalah mereka yang bisa membuktikan dirinya sebagai being of itself (ada yang bercelah dan tidak penuh dikarenakan sebagai manusia kita tidak sempurna, oleh karena itu manusia dilahirkan untuk bebas dan berkesadaran). Bebas maksudnya, manusia dapat memilih berbagai bentuk untuk menyempurnakan yang bercelah itu, dan berkesadaran maksudnya bentuk-bentuk yang dipilih tidak mematikan akal sehat dan menggembungkan ruang-ruang ilusi.

Terakhir, mari kita relaksasikan diri pada potongan lirik lagu Natural; D’Masiv;
Ku suka kamu apa adanya

Senatural mungkin aku lebih suka

Ku suka kamu begini saja

Bukan karena ada apa-apanya dari yang kau punya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan kritik apa saja yang anda lihat, rasa, dan pikirkan