Suatu kali,
bersama keluarga saya menghabiskan waktu di sebuah objek wisata alam.
Pengunjungnya padat, karena memang hari itu bertepatan dengan hari libur. Para
pengunjung saling silang, berseliweran di hadapan. Pun banyak pula yang
menikmati guyuran air terjun dari mata air pegunungan. Dan saya punya aktivitas
berbeda. Seorang wanita muda (mungkin ABG) menarik perhatian saya. Bukan karena
parasnya, melainkan karena gerak-geriknya. Dari kejahuan kornea mataku
menangkap dirinya sedang asyik berpose dari ujung kaki sampai rambut, lalu
mendokumenasikannya dengan ponsel dan bantuan sebuah tongsis (tongkat narsis).
Seletah mememorikan dirinya dalam ponsel, lalu dia pun melanjutkan akivitas
foto-fotonya, pada beberapa tempat yang hanya terhitung beberapa senti jaraknya
dari tempat sebelumnya, sampai batas mataku tak melihatnya. Aku senyum-senyum
sendiri, “tongsis oh tongsis, dirimu
benar-benar berhasil melejitkan Si Narsis yang doyan selfie.” Batinku.
Pada kesempatan
lain, mengikuti trend facebook (FB),
saya juga senang membuka-buka beranda dan membaca informasi baru yang
dimuatnya. Tetapi saat sedang khusuk-khusunya, pandangan dan konstrasi sering
terantuk pada gambar-gambar wajah yang dijadikan foto profil FB. Persoalannya
sederhana saja, foto profil yang memuat 90% wajah pemiliknya dengan mimik
sedemikian, dan polesan kecanggihan kamera, kadang membuat saya pangling pada
si pemilik wajah. Akhirnya, imajinasi malah berkeliaran pada wajah tersebut.
Kasus lain yang
bernada, juga sering saya jumpai saat berkunjung ke pusat perbelanjaan. Terkadang
saya memang sengaja menguping pembicaraan anak muda yang berkerumun pada
tempat-tempat tertentu. Dari hasil ngupingan,
pembicaraan mereka ternyata tidak lepas dari makan di mana? Kapan clubbing-nya? Mobil kamu ganti lagi, yah? Atau
ngesalon dimana? Eh, baju kamu bagus. Keluaran baru, yah? Beli dimana?
Belum lagi, percakapan itu disertai dengan gerakan tubuh yang dibuat-buat, dan
suara yang diindahkan.
Simpulanku,
cerita di atas semuanya bermuara pada kata narsis. Istilah ini mengakar pada dongeng
masyarakat Yunani. Kabarnya, dahulu hiduplah seorang pemuda yang merupakan
putra seorang dewa dan bidadari. Dia memiliki wajah yang sangat tampan. Suatu
ketika, dia duduk-duduk di tepi kolam, seraya mengamati bayangan dirinya pada
air kolam yang bening. Karena bayangan wajah itu begitu memesona, akhirnya
pemuda tersebut jatuh cinta pada gambaran wajah yang dilihatnya. Dia
benar-benar terpikat, dan setiap waktu dia mendatangi kolam tersebut untuk mencari bayangan wajah yang pernah
dilihatnya. Dia jatuh cinta pada banyangan tersebut, dan demi kesetiaan pada
bayangannya, pemuda itu pun mengabaikan cinta seorang dewi bernama Echos. Nama
pemuda itu adalah Narsisus, yang belakangan menginspirasi lahirnya istilah
narsis/ narsisme. Dari dongeng inilah isilah narsis lalu dikaitkan dengan orang
yang memuja dan mencintai, serta asik dengan dirinya sendiri.
Menjadi narsis,
adakah yang salah? Sebagian psikolog menjawab ‘iya’. Sebab dari dongeng di
atas, Narsisus bukan mencintai dirinya, melainkan bayangannya. Dan kadang kita
keliru menerjemahkan narsis dengan kecintaan pada diri sendiri, sebagaimana
sebenarnya diri. Contoh-contoh di atas, jika ditelisik jauh, benar! Tak satu
pun menerima keberadaan/ eksisensi dirinya. Semisal, agar tangkapan kamera pas,
maka ada tongsis, wajah yang dipaksa senyum, dan terakhir dihaluskan dengan
kamera 360 (serta aplikasi sesamanya) untuk sebuah decak kagum. Ataukah, agar
mendapakan banyak ‘like’ dalam sosial media, maka sangat jarang penggunanya
memasang foto-foto yang biasa-biasa saja (baca ‘jelek’), pun untuk prestise, tak jarang gaya hidup, gaya
bicara, dan bahasa tubuh dihiperbolakan. Bukankah itu semua adalah bayangan?
Dan Sang Narsis adalah mereka yang senantiasa dibayang-bayangi banyangan. Kita (hamper semua manusia) melakoni ini, meski
dengan kadar yang berbeda-beda. Itu tidak bias dipungkiri.
Oleh Sam Vaksin, penulis buku Malignant
Self Love-Narcissism Revisited, Narsisus mengalami gangguan kejiwaan. Bahwa
ada perbedaan besar antara diri yang sebenarnya, dan diri yang terlihat dari
sebuah pantulan. Orang yang terjerat pada pesona bayangan, akan sulit mencintai
hal yang di luar bayangan. Sehingga mereka akan terkepung ilusi dan halusinasi
yang akhirnya berujung pada kebanggaannya pada opini orang sekitar (meski hanya
ilusi) bahwa dia seorang yang penting, unik, dan menarik.
Narsis, membawa
manusia pada sebuah ruang kosong yang kusam, lalu ditata dan dipoles oleh
pemilik ruang agar dapat menjadi ornamen-ornamen indah untuk membuat ruang itu
menarik. Sepintas, jika memandangnya orang akan berdecak kagum. Bahkan hendak
membayar ruangan itu dengan harga mahal. Tetapi, jika ornamen-ornamen hasil
racikan pemiliknya juga mengusang, maka ruangan itu tak ada harganya, kecuali
jika dipoles kembali.
Umpama, diri ini
adalah ruangnya dan ornamen-ornamen itu adalah ‘pernak-pernik’ yang membuat
kita menarik, maka pemilik ruang adalah opini-opini di sekitar yang menjadi
rujukan untuk ‘menjadi’. Narsis, menghasilkan manusia penuh ilusi, dan tidak
merdeka. Lalu bagaimana agar kadar narsis mengecil? Jean Paul Sartre memberi
solusi, bahwa manusia yang merdeka/berkesistensi adalah mereka yang bisa
membuktikan dirinya sebagai being of
itself (ada yang bercelah dan tidak penuh dikarenakan sebagai manusia kita
tidak sempurna, oleh karena itu manusia dilahirkan untuk bebas dan
berkesadaran). Bebas maksudnya, manusia dapat memilih berbagai bentuk untuk
menyempurnakan yang bercelah itu, dan berkesadaran maksudnya bentuk-bentuk yang
dipilih tidak mematikan akal sehat dan menggembungkan ruang-ruang ilusi.
Terakhir, mari
kita relaksasikan diri pada potongan
lirik lagu Natural; D’Masiv;
Ku suka kamu apa adanya
Senatural mungkin aku lebih suka
Ku suka kamu begini saja
Bukan karena ada apa-apanya dari yang kau punya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan kritik apa saja yang anda lihat, rasa, dan pikirkan