Istilah feminisme ini pertama kali dipopuliskan oleh Charles Fourier
(salah satu aktivis sosialis utopis). Feminisme adalah gagasan kaum
positivistik-empirik yang mencoba memilah-milah antara realitas dan pemikiran. Mengapa
demikian? Karena feminisme sama sekali tidak memiliki ideologi gerakan yang
jelas. Sehingga sampai sekarang banyak yang coba meraba-raba definisi feminisme
berdasarkan motif kepentingannya.
Feminisme bagi kaum liberal adalah gerakan perempuan menuntut kebebasan
dan kesetaraan rasionalitas, feminisme oleh golongan sosialis adalah gerakan
perempuan menuntut persamaan hak dalam bidang ekonomi, kaum agamawan
menerjemahkan feminisme sebagai gerakan perempuan menentang ayat-ayat yang
dianggap misoginis. Bagi para filosof,
feminisme adalah aktualisasi sisi-sisi feminitas perempuan. Namun apapun
definisinya, feminisme selalu saja terperangkap pada tiga asumsi bahwa, ada
ketidakadilan gender, gender bukan sebagai sifat kodrati, dan memperjuangkan
persamaan hak.
Feminisme ini heboh diperbincangkan saat era
pencerahan di Eropa sebab kelahiran feminisme diklaim hadir pada masa ini,
tanpa mau peduli dengan aktivitas-aktivitas perempuan terdahulu. Sebagaimana misalnya saat zaman kenabian,
aktivitas-aktivitas kaum perempuan, mumpuni adanya. Terbukti dengan hadirnya
beberapa tokoh-tokoh seperti Siti
Khadija yang sukses mengokohkan dakwah Rasulullah saw dengan kekuatan
ekonominya, Aisyah yang masyhur dengan kecerdasannya, Asiah (istri Firaun yang
terakhir) terkenal dengan keteguhan imannya, Siti Maryam sebagai perawan suci
yang namanya diabadikan quran atas perjuangannya membesarkan nabi Isa as,
Fatimah Az Zahra dengan kegigihannya merawat Rasulullah saw dan kaum
muslimin lainnya saat perang badar dan
uhud. Pun masa pasca kenabian. Beberapa
tokoh masih bergelinding misalnya Bunda Teresha, sosok yang memperjuangkan
nasib penderita kusta di Kalkuta. Hebatnya, karena pada saat ini, istilah
feminisme nyaris tak terdengar. Bahkan
Charles tidak berani memulai debut istilahnya dengan melihat fakta-fakta
ini. Namun beruntunglah karena memang tokoh-tokoh tersebut (bergerak dengan
motivasi kemanusiaan) tidak layak disandingkan dengan para feminis kini
(motivasi geraknya bertumpu pada materialisme).
Menilik lebih jauh, feminisme berdasarkan referensi
yang ada, kelahirannya seringkali didedahkan dalam tiga generasi. Generasi pertama,
dimulai pada abad ke 17 – 18. Gerakan ini diawali di Belanda (era pencerahan
Eropa), Perancis (revolusi Perancis), Amerika Serikat (revolusi sosial dan
politik) yang dipengaruhi oleh dua
ideologi dominan pada masa itu yaitu liberalisme dan sosialisme. Mitovasi
gerakannya adalah universal sisterhood
(keterikatan persaudaraan perempuan secara universal), adanya pemasungan
hak-hak perempuan oleh budaya patriarkhi, dan partisipasi perempuan dalam
bidang pendidikan dan politik. Produknya adalah feminisme liberal, radikal,
marxis, dan sosialis. Generasi kedua, dimulai pada awal abad 19, masih dipelopori
oleh feminism Perancis. Corak gerakannya sangat dipengaruhi oleh wacana-wacana
dekonstruksi yang hadir bersama kelahiran feminisme generasi kedua ini.
Motivasi gerakannya adalah menyelamatkan perempuan dunia ketiga (perempuan asia
dan kulit hitam) dari kebodohan. Produknya, feminisme eksistensialis. Generasi ketiga,
bergejolak pada pertengahan abad 19 sampai sekarang. Periode ini dikenal dengan
periode rekonstruksi. Motivasi gerakannya adalah rekonstruksi budaya patriarkhi dan rekonstruksi identitas.
Produknya adalah feminisme postmodernisme, feminisme multikultural, dan
feminisme teologis.
Dari tiga generasi ini yang patut kita beri
perhatian adalah motivasi gerak feminisme generasi kedua yang menitikberatkan
gerakannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga; Asia, Amerika Selatan, dan
Afrika. Disinilah nusantara kita pertama kali dicekoki dengan kehadiran
feminist dan paham yang di bawahnya. Sementara tidak bisa dinafikan, bahwa saat
itu Indonesia memiliki keragaman kultur masing-masing dan memiliki cara
sendiri-sendiri menerjemahkan kaum perempuan. Taruhlah misalnya Minangkabau
yang mewakili Pulau Sumatera (Indonesia bagian barat), tradisi yang
dikembangkan memosisikan perempuan sebagai sentrum segala kebijakan (budaya
matriarkhi), dan jika ini ditelisik lebih jauh, bahwa perempuan sama sekali
tidak bodoh apalagi mengalami ketertindasan. Demikian halnya, Pulau Jawa
(Indonesia bagian tengah) yang masih sangat kental dengan mitos Ratu Pantai
Selatannya. Bukankah ini menyimbolkan penghormatan masyarakat Jawa terhadap
kaum perempuan? Walhasil, meski di Pulau Jawa, berlaku budaya “Nrimo” bagi
seorang perempuan (baca; istri) tetapi keberadaan Nyi Roro Kidul yang menaungi
pantai selatan, tidak terlepas dari kehidupan masyarakatnya. Dan budaya “Nrimo”
bukanlah menjadi model kepasrahan perempuan Jawa, melainkan salah satu cara
memuliakan kaum perempuan versi budaya Jawa.
Lain halnya dengan Sulawesi Selatan, diwilayah ini
yang merupakan salah satu perwakilan daerah di Indonesia timur yang banyak
digadang-gadang sebagai tempat berlakunya budaya patriarkhi (budaya kebapakan,
atau yang memosisikan laki-laki sebagai pengambil kebijakan). Tetapi apakah
perempuan Sulawesi Selatan tidak memiliki ruang partisipasi? Tentu ada,
jawabnya. Sebab dalam beberapa cerita orang-orang terdahulu yang masih
bergaung, ada beberapa perempuan-perempuan hebat yang berkiprah sebagaimana
peran laki-laki dalam masyarakat patriarkhi ini. Mereka diantaranya adalah We
Nyilik Timo yang dikenal sebagai tomanurung perempuan, Collik Pujie seorang
sastrawan yang perannya sangat signifikan dalam penerjemahan dan penyusunan
naskah La Galigo, Siti Aisyah We Tenri Olle salah seorang raja perempuan bugis
yang memerintah di Tanete, dan Opu Daeng Risadju yang merupakan politikus
perempuan pelopor Partai Sarekat Islam (PSI). budaya patriarkhi dalam konteks
ini, lebih pada terbukanya ruang-ruang dialogis laki-laki dan perempuan sebelum
diputuskannya suatu hal.
Keragaman budaya yang menaungi nusantara ini, tidak
pernah menjadi bahan kajian masyarakat barat ketika membaca negara-negara di
Asia (khususnya Indonesia) saat memberi ultimatum “bodoh dan terbelakang”.
Lalu, feminist barat dengan serta merta memasukkan konsep feminisme ala mereka dan mengabaikan keberagaman
kita. Maka, jangan heran saat wacana feminisme terus bergelinding, maka
teruslah ia simpang siur, gamang, dan gagap dimaknai karena wacana ini bukannya
memerbaiki perempuan Indonesia (jika boleh dikata demikian), tetapi malah
mencerabut mereka dari akar budayanya. Tentunya kehadiran feminisme dengan banyak wajah beserta ideologi yang menyusup di
dalamnya malah mengeruhkan kejernihan kearifan lokal dalam memandang perempuan
pada masing-masing wilayah.
Hal ini juga berdampak pada kehidupan masyarakat
Bugis Makassar yang dilingkupi oleh sebuah budaya terdahulu yang kita kenal
dengan Siri’ Na Pacce (Makassar) atau
Siri’ Na Passe (Bugis). Budaya ini
merupakan simbol jati diri masyarakat Bugis-Makassar dalam setiap aktivitasnya,
dimanapun mereka berada. Lebih khusus lagi, jika budaya ini kita bawah pada
ruang-ruang yang lebih feminin, maka akan ditemui sebuah perjumpaan apik
tentang wajah perampuan “terhormat” yang tidak pernah ditemui dalam
aliran-aliran feminisme terdahulu. Dalam masyarakat Bugis-Makassar, Siri’ (rasa malu) dan Pacce/ passe (teguh pendirian) menjadi
falsafah hidup yang tidak bisa ditawar-tawar baik oleh laki-laki maupun
perempuan. Prinsip Siri’
diterjemahkan dalam empat hal yaitu, pertama; Siri’ Ripakasiri’ adalah siri’ yang
berhubungan dengan harga diri pribadi dan keluarga yang pantang untuk
dilanggar, sebab jika itu terjadi maka taruhannya adalah nyawa. Sebagai contoh
hukuman keras yang berlaku bagi pelaku kawin lari (silariang), pun pada tindakan
kekerasan atau penganiayaan dalam masyarakat Bugis-Makassar. Bagaimana
ketersambungannya untuk perempuan? Bahwa disinilah budaya siri’ meletakkan
penghargaan besar bahwa perempuan Bugis-Makassar adalah perempuan yang
bermartabat sehingga tidak bisa diperlakukan sekehendak hati. Konsep siri’ ini
diperkokoh dengan ungkapan “Sirikaji nanimmantang attalasa’ ri linoa, punna
tenamo siri’nu matemako kaniakkangngami angga’na olo-oloka.”
(hanya karena Siri’ kita masih tetap hidup (eksis), kalau malu sudah hilang maka hidup ini menjadi hina
seperti layaknya binatang, bahkan lebih hina daripada binatang). Dengan prinsip
ini, rekonstruksi budaya patriarkhi pun identitas sebagaimana tuntutan
feminisme generasi ketiga tidak perlu dilakukan. Sebab laki-laki dan perempuan
akan saling berharmoni dalam menjalankan kewajiban dan menerima haknya.
Kedua;
Siri’ Mappakasiri’siri adalah siri’
yang berkaitan dengan etos kerja masyarakat Bugis-Makassar. Selain
itu, Siri’ Mappakasiri’siri’ juga diarahkan untuk mencegah seseorang
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai moral, agama,
adat istiadat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat merugikan manusia dan
kemanusiaan itu sendiri. Spirit siri’
versi ini membuktikan keberhasilan orang-orang Bugis-Makassar baik di tanah
rantau maupun di kampung sendiri. Ini berkaitan dengan tuntutan feminisme
liberal, sosialis, dan marxis yang selalu saja menjadikan ekonomi sebagai topik
kajiannya. Bahwa perempuan membutuhkan biaya lebih dalam kehidupannya, dan jika
itu tidak mampu dipenuhi oleh seorang laki-laki (suami), maka mereka sendirilah
yang akan berjuang di wilayah publik. Tetapi hal ini tidak berlaku bagi
perempuan Bugis-Makassar, sebab kewajiban mencari nafkah ada ditangan
laki-laki, dan menjadi sebuah hal yang melanggar konsep siri’ ini jika itu tidak terpenuhi. Karena itu, mereka dikenal
sebagai pekerja keras dan pantang menyerah. Lalu apakah perempuan
Bugis-Makassar tabu untuk keluar rumah, mendapatkan uang tambahan? Jelas tidak.
Ada banyak contoh perempuan dari daerah ini yang sukses berkiprah diberbagai
bidang, sebab tradisi memang tidak melarang hal tersebut.
Ketiga;
Siri’ Tappela’ Siri’ (Makassar)
atau Siri’ Teddeng Siri’ (Bugis) merupakan siri’ yang berkaitan dengan ucapan
atau janji (misalnya janji melunasi hutang ketika berutang). Bahwa masyarakat
Bugis-Makassar pantang menarik ulur ucapan atau janjinya ketika mereka telah
mengucapkannya (pantang bicara dua kali). Sehingga dengan motivasi ini,
perempuan Bugis-Makassar diarahkan untuk senantiasa menjaga lisannya, dan
menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat menjerumuskan mereka pada perkataan dan
perbuatan sia-sia. Berbeda dengan para feminis eksistensialis yang menempatkan
perempuan sebagai diri yang terbelenggu dan perlu dibebaskan dengan berteriak
sekencang-kencangnya tentang kemerdekaan, tanpa tahu apa sebenarnya makna
kemerdekaan. Dalam hal ini, perempuan Bugis-Makassar adalah pribadi yang
merdeka dalam artian tidak berdiri di atas opini orang lain.
Keempat; Siri’
Mate Siri’ adalah falsafah siri’ yang berkaitan dengan keimanan seseorang. Dalam
pandangan orang Bugis-Makassar, orang yang mate siri’-nya
adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikit
pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa malu layaknya
mayat yang berjalan. Pun pada kaum perempuannya. Jika mereka telah kehilangan
iman (malu) dalam hidupnya, maka mereka tidak layak dihormati sebagai perempuan
yang bermartabat. Atau dapat pula diistilahkan Siri’mi Narituo (karena malu kita hidup). Coba bandingkan dengan para feminis teolog
yang sibuk mencari ayat-ayat tuhan untuk dijadikan pembenaran gerakannya, dan
dijadikan pijakan opini yang tak pernah selesai. Lalu mereka melupakan bahwa
mereka adalah perempuan yang seharusnya meletakkan ayat-ayat tuhan dalam
ruang-ruang permenungan (spritual).
Siri’
dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar mengatur sisi-sisi internal kedirian
mereka, sedangkan pacce/ passe
bekerja pada wilayah eksternal (kemasyarakatan). Pacce’ dalam pengertian
harfiahnya berarti “ pedih “, dalam makna kulturalnya pacce berarti juga
belas kasih, perikemanusiaan, rasa turut prihatin, berhasrat membantu,
humanisme universal. Jadi, pacce’ adalah perasaan (pernyataan)
solidaritas yang berasal dari dalam kalbu yang dapat merangsang kepada suatu
tindakan. Ini adalah pernyataan terhadap kemerdekaan moral dalam mengambil
tindakan terhadap yang terjadi di sekitar kita. Dari pacce inilah muncul istilah sipakatau
sipaka inga’ (saling memanusiakan dan saling mengingatkan). Kolaborasikan
Siri’ Na Pacce tersublimasi pada eksistensi masyarakat Bugis-Makassar pada
umumnya, dan perempuan pada khususnya sebagai diri yang merdeka dan berprinsip
dimanapun mereka berada. Sehingga, tawaran kaum feminis dari latar belakang
ideologi apapun, tidak akan memporak-porandakan identitasnya sebagai perempuan
yang berkesadaran dan tetap mencintai kearifan lokalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan kritik apa saja yang anda lihat, rasa, dan pikirkan