Senin, 25 Januari 2016

Feminisme dan Budaya Siri' Na Pacce

Istilah feminisme ini pertama kali dipopuliskan oleh Charles Fourier (salah satu aktivis sosialis utopis). Feminisme adalah gagasan kaum positivistik-empirik yang mencoba memilah-milah antara realitas dan pemikiran. Mengapa demikian? Karena feminisme sama sekali tidak memiliki ideologi gerakan yang jelas. Sehingga sampai sekarang banyak yang coba meraba-raba definisi feminisme berdasarkan motif kepentingannya.  Feminisme bagi kaum liberal adalah gerakan perempuan menuntut kebebasan dan kesetaraan rasionalitas, feminisme oleh golongan sosialis adalah gerakan perempuan menuntut persamaan hak dalam bidang ekonomi, kaum agamawan menerjemahkan feminisme sebagai gerakan perempuan menentang ayat-ayat yang dianggap  misoginis. Bagi para filosof, feminisme adalah aktualisasi sisi-sisi feminitas perempuan. Namun apapun definisinya, feminisme selalu saja terperangkap pada tiga asumsi bahwa, ada ketidakadilan gender, gender bukan sebagai sifat kodrati, dan memperjuangkan persamaan hak.

Feminisme ini heboh diperbincangkan saat era pencerahan di Eropa sebab kelahiran feminisme diklaim hadir pada masa ini, tanpa mau peduli dengan aktivitas-aktivitas perempuan terdahulu.  Sebagaimana misalnya saat zaman kenabian, aktivitas-aktivitas kaum perempuan, mumpuni adanya. Terbukti dengan hadirnya beberapa tokoh-tokoh seperti  Siti Khadija yang sukses mengokohkan dakwah Rasulullah saw dengan kekuatan ekonominya, Aisyah yang masyhur dengan kecerdasannya, Asiah (istri Firaun yang terakhir) terkenal dengan keteguhan imannya, Siti Maryam sebagai perawan suci yang namanya diabadikan quran atas perjuangannya membesarkan nabi Isa as, Fatimah Az Zahra dengan kegigihannya merawat Rasulullah saw dan kaum muslimin  lainnya saat perang badar dan uhud.  Pun masa pasca kenabian. Beberapa tokoh masih bergelinding misalnya Bunda Teresha, sosok yang memperjuangkan nasib penderita kusta di Kalkuta. Hebatnya, karena pada saat ini, istilah feminisme nyaris tak terdengar. Bahkan  Charles tidak berani memulai debut istilahnya dengan melihat fakta-fakta ini. Namun beruntunglah karena memang tokoh-tokoh tersebut (bergerak dengan motivasi kemanusiaan) tidak layak disandingkan dengan para feminis kini (motivasi geraknya bertumpu pada materialisme).

Menilik lebih jauh, feminisme berdasarkan referensi yang ada, kelahirannya seringkali didedahkan dalam tiga generasi. Generasi pertama, dimulai pada abad ke 17 – 18. Gerakan ini diawali di Belanda (era pencerahan Eropa), Perancis (revolusi Perancis), Amerika Serikat (revolusi sosial dan politik)  yang dipengaruhi oleh dua ideologi dominan pada masa itu yaitu liberalisme dan sosialisme. Mitovasi gerakannya adalah universal sisterhood (keterikatan persaudaraan perempuan secara universal), adanya pemasungan hak-hak perempuan oleh budaya patriarkhi, dan partisipasi perempuan dalam bidang pendidikan dan politik. Produknya adalah feminisme liberal, radikal, marxis, dan sosialis. Generasi kedua, dimulai pada awal abad 19, masih dipelopori oleh feminism Perancis. Corak gerakannya sangat dipengaruhi oleh wacana-wacana dekonstruksi yang hadir bersama kelahiran feminisme generasi kedua ini. Motivasi gerakannya adalah menyelamatkan perempuan dunia ketiga (perempuan asia dan kulit hitam) dari kebodohan. Produknya, feminisme eksistensialis. Generasi ketiga, bergejolak pada pertengahan abad 19 sampai sekarang. Periode ini dikenal dengan periode rekonstruksi. Motivasi gerakannya adalah rekonstruksi  budaya patriarkhi dan rekonstruksi identitas. Produknya adalah feminisme postmodernisme, feminisme multikultural, dan feminisme teologis.

Dari tiga generasi ini yang patut kita beri perhatian adalah motivasi gerak feminisme generasi kedua yang menitikberatkan gerakannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga; Asia, Amerika Selatan, dan Afrika. Disinilah nusantara kita pertama kali dicekoki dengan kehadiran feminist dan paham yang di bawahnya. Sementara tidak bisa dinafikan, bahwa saat itu Indonesia memiliki keragaman kultur masing-masing dan memiliki cara sendiri-sendiri menerjemahkan kaum perempuan. Taruhlah misalnya Minangkabau yang mewakili Pulau Sumatera (Indonesia bagian barat), tradisi yang dikembangkan memosisikan perempuan sebagai sentrum segala kebijakan (budaya matriarkhi), dan jika ini ditelisik lebih jauh, bahwa perempuan sama sekali tidak bodoh apalagi mengalami ketertindasan. Demikian halnya, Pulau Jawa (Indonesia bagian tengah) yang masih sangat kental dengan mitos Ratu Pantai Selatannya. Bukankah ini menyimbolkan penghormatan masyarakat Jawa terhadap kaum perempuan? Walhasil, meski di Pulau Jawa, berlaku budaya “Nrimo” bagi seorang perempuan (baca; istri) tetapi keberadaan Nyi Roro Kidul yang menaungi pantai selatan, tidak terlepas dari kehidupan masyarakatnya. Dan budaya “Nrimo” bukanlah menjadi model kepasrahan perempuan Jawa, melainkan salah satu cara memuliakan kaum perempuan versi budaya Jawa.

Lain halnya dengan Sulawesi Selatan, diwilayah ini yang merupakan salah satu perwakilan daerah di Indonesia timur yang banyak digadang-gadang sebagai tempat berlakunya budaya patriarkhi (budaya kebapakan, atau yang memosisikan laki-laki sebagai pengambil kebijakan). Tetapi apakah perempuan Sulawesi Selatan tidak memiliki ruang partisipasi? Tentu ada, jawabnya. Sebab dalam beberapa cerita orang-orang terdahulu yang masih bergaung, ada beberapa perempuan-perempuan hebat yang berkiprah sebagaimana peran laki-laki dalam masyarakat patriarkhi ini. Mereka diantaranya adalah We Nyilik Timo yang dikenal sebagai tomanurung perempuan, Collik Pujie seorang sastrawan yang perannya sangat signifikan dalam penerjemahan dan penyusunan naskah La Galigo, Siti Aisyah We Tenri Olle salah seorang raja perempuan bugis yang memerintah di Tanete, dan Opu Daeng Risadju yang merupakan politikus perempuan pelopor Partai Sarekat Islam (PSI). budaya patriarkhi dalam konteks ini, lebih pada terbukanya ruang-ruang dialogis laki-laki dan perempuan sebelum diputuskannya suatu hal.


Keragaman budaya yang menaungi nusantara ini, tidak pernah menjadi bahan kajian masyarakat barat ketika membaca negara-negara di Asia (khususnya Indonesia) saat memberi ultimatum “bodoh dan terbelakang”. Lalu, feminist barat dengan serta merta memasukkan konsep feminisme ala mereka dan mengabaikan keberagaman kita. Maka, jangan heran saat wacana feminisme terus bergelinding, maka teruslah ia simpang siur, gamang, dan gagap dimaknai karena wacana ini bukannya memerbaiki perempuan Indonesia (jika boleh dikata demikian), tetapi malah mencerabut mereka dari akar budayanya. Tentunya kehadiran feminisme dengan banyak wajah beserta ideologi yang menyusup di dalamnya malah mengeruhkan kejernihan kearifan lokal dalam memandang perempuan pada masing-masing wilayah.

Hal ini juga berdampak pada kehidupan masyarakat Bugis Makassar yang dilingkupi oleh sebuah budaya terdahulu yang kita kenal dengan Siri’ Na Pacce (Makassar) atau Siri’ Na Passe (Bugis). Budaya ini merupakan simbol jati diri masyarakat Bugis-Makassar dalam setiap aktivitasnya, dimanapun mereka berada. Lebih khusus lagi, jika budaya ini kita bawah pada ruang-ruang yang lebih feminin, maka akan ditemui sebuah perjumpaan apik tentang wajah perampuan “terhormat” yang tidak pernah ditemui dalam aliran-aliran feminisme terdahulu. Dalam masyarakat Bugis-Makassar, Siri’ (rasa malu) dan Pacce/ passe (teguh pendirian) menjadi falsafah hidup yang tidak bisa ditawar-tawar baik oleh laki-laki maupun perempuan. Prinsip Siri’ diterjemahkan dalam empat hal yaitu, pertama; Siri’ Ripakasiri’ adalah siri’ yang berhubungan dengan harga diri pribadi dan keluarga yang pantang untuk dilanggar, sebab jika itu terjadi maka taruhannya adalah nyawa. Sebagai contoh hukuman keras yang berlaku bagi pelaku kawin lari (silariang), pun pada tindakan kekerasan atau penganiayaan dalam masyarakat Bugis-Makassar. Bagaimana ketersambungannya untuk perempuan? Bahwa disinilah budaya siri’ meletakkan penghargaan besar bahwa perempuan Bugis-Makassar adalah perempuan yang bermartabat sehingga tidak bisa diperlakukan sekehendak hati. Konsep siri’ ini diperkokoh dengan ungkapan “Sirikaji nanimmantang attalasa’ ri linoa, punna tenamo siri’nu matemako kaniakkangngami angga’na olo-oloka.” (hanya karena Siri’ kita masih tetap hidup (eksis), kalau  malu sudah hilang maka hidup ini menjadi hina seperti layaknya binatang, bahkan lebih hina daripada binatang). Dengan prinsip ini, rekonstruksi budaya patriarkhi pun identitas sebagaimana tuntutan feminisme generasi ketiga tidak perlu dilakukan. Sebab laki-laki dan perempuan akan saling berharmoni dalam menjalankan kewajiban dan menerima haknya.

Kedua; Siri’ Mappakasiri’siri adalah siri’ yang berkaitan dengan etos kerja masyarakat Bugis-Makassar. Selain itu, Siri’ Mappakasiri’siri’ juga diarahkan untuk mencegah seseorang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai moral, agama, adat istiadat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat merugikan manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Spirit siri’ versi ini membuktikan keberhasilan orang-orang Bugis-Makassar baik di tanah rantau maupun di kampung sendiri. Ini berkaitan dengan tuntutan feminisme liberal, sosialis, dan marxis yang selalu saja menjadikan ekonomi sebagai topik kajiannya. Bahwa perempuan membutuhkan biaya lebih dalam kehidupannya, dan jika itu tidak mampu dipenuhi oleh seorang laki-laki (suami), maka mereka sendirilah yang akan berjuang di wilayah publik. Tetapi hal ini tidak berlaku bagi perempuan Bugis-Makassar, sebab kewajiban mencari nafkah ada ditangan laki-laki, dan menjadi sebuah hal yang melanggar konsep siri’ ini jika itu tidak terpenuhi. Karena itu, mereka dikenal sebagai pekerja keras dan pantang menyerah. Lalu apakah perempuan Bugis-Makassar tabu untuk keluar rumah, mendapatkan uang tambahan? Jelas tidak. Ada banyak contoh perempuan dari daerah ini yang sukses berkiprah diberbagai bidang, sebab tradisi memang tidak melarang hal tersebut.

Ketiga; Siri’ Tappela’ Siri’ (Makassar) atau Siri’ Teddeng Siri’ (Bugis) merupakan siri’ yang berkaitan dengan ucapan atau janji (misalnya janji melunasi hutang ketika berutang). Bahwa masyarakat Bugis-Makassar pantang menarik ulur ucapan atau janjinya ketika mereka telah mengucapkannya (pantang bicara dua kali). Sehingga dengan motivasi ini, perempuan Bugis-Makassar diarahkan untuk senantiasa menjaga lisannya, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat menjerumuskan mereka pada perkataan dan perbuatan sia-sia. Berbeda dengan para feminis eksistensialis yang menempatkan perempuan sebagai diri yang terbelenggu dan perlu dibebaskan dengan berteriak sekencang-kencangnya tentang kemerdekaan, tanpa tahu apa sebenarnya makna kemerdekaan. Dalam hal ini, perempuan Bugis-Makassar adalah pribadi yang merdeka dalam artian tidak berdiri di atas opini orang lain.

Keempat; Siri’ Mate Siri’ adalah falsafah siri’ yang berkaitan dengan keimanan seseorang. Dalam pandangan orang Bugis-Makassar, orang yang mate siri’-nya adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa malu layaknya mayat yang berjalan. Pun pada kaum perempuannya. Jika mereka telah kehilangan iman (malu) dalam hidupnya, maka mereka tidak layak dihormati sebagai perempuan yang bermartabat. Atau dapat pula diistilahkan Siri’mi Narituo (karena malu kita hidup).  Coba bandingkan dengan para feminis teolog yang sibuk mencari ayat-ayat tuhan untuk dijadikan pembenaran gerakannya, dan dijadikan pijakan opini yang tak pernah selesai. Lalu mereka melupakan bahwa mereka adalah perempuan yang seharusnya meletakkan ayat-ayat tuhan dalam ruang-ruang permenungan (spritual).

Siri’ dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar mengatur sisi-sisi internal kedirian mereka, sedangkan pacce/ passe bekerja pada wilayah eksternal (kemasyarakatan). Pacce’ dalam pengertian harfiahnya berarti “ pedih “, dalam makna kulturalnya pacce berarti juga belas kasih, perikemanusiaan, rasa turut prihatin, berhasrat membantu, humanisme universal. Jadi, pacce’ adalah perasaan (pernyataan) solidaritas yang berasal dari dalam kalbu yang dapat merangsang kepada suatu tindakan. Ini adalah pernyataan terhadap kemerdekaan moral dalam mengambil tindakan terhadap yang terjadi di sekitar kita. Dari pacce inilah muncul istilah sipakatau sipaka inga’ (saling memanusiakan dan saling mengingatkan). Kolaborasikan Siri’ Na Pacce tersublimasi pada eksistensi masyarakat Bugis-Makassar pada umumnya, dan perempuan pada khususnya sebagai diri yang merdeka dan berprinsip dimanapun mereka berada. Sehingga, tawaran kaum feminis dari latar belakang ideologi apapun, tidak akan memporak-porandakan identitasnya sebagai perempuan yang berkesadaran dan tetap mencintai kearifan lokalnya.
                                          


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan kritik apa saja yang anda lihat, rasa, dan pikirkan